Di ujung dunia kecil bernama Sukamaju, tempat langit dan tanah berbisik dalam bahasa kuno. Hutan Seraya merebah bagai permadani purba. Pohon-pohonnya menulang bagai pilar langit, daun-daunnya bersuara lirih, menyulam cerita-cerita yang lahir dari zaman sebelum manusia mengeja kata "Rakus.” Sungai kecil mengular di jantungnya, memantulkan bayang-bayang bulan yang patah, menyanyikan kidung kehidupan yang hanya bisa dimengerti oleh hati yang masih bersih.
Hutan ini bukan sekedar rimbun hijau bagi warga Sukamaju; ia adalah nadi yang berdenyut, Rahim yang melahirkan kayu, buah, dan nafas—tanpa pernah menuntut apa-apa, kecuali barangkali; ingatan.
***
Hanjeli, gadis bermata terang, seterang bintang yang tercecer di langit yang hilang. Setiap senja, ia menelusup ke pelukan Seraya, bersandar pada dada Pohon Nenek—jati tua berkulit retak-retak, seperti tangan waktu sendiri. Di sana, ia mendengarkan suara-suara yang tak kasat telinga: deru nafas bumi, keluh burung yang kehilangan sarang, dan desir sungai yang kini terdengar seperti batuk seorang tua.
Namun, akhir-akhir ini, sesuatu berubah. Udara menjadi berat, seolah menyimpan rahasia buruk.
Sungai kehilangan cermin peraknya, burung-burung beringsut pergi, dan angin meniupkan aroma karat dan luka. "Ada apa denganmu, Nenek?" bisiknya pada pohon itu. Pohon hanya diam, akar-akarnya merayap resah di bawah tanah, seperti mencari jalan keluar dari kepedihan.
***
Pagi itu, kabut muram menyelimuti desa. MegaCorp—raksasa dari Rahim besi dan kepentingan—tiba dengan janji-janji bergelimang madu. Mereka ingin mencabik Seraya, menggantikannya dengan ladang kelapa sawit yang monoton bagai gurun berbaris.
"Kemajuan!" seru Pak Darno, kepala desa, matanya mengilap seperti pecahan logam.
"Sebidang kecil hutan—apa artinya bagi dunia yang luas?"
Sebagian warga terbuai, memandang gemerlap rupiah seolah bintang jatuh yang bisa digenggam. Tapi Hanjeli melihat dengan mata lain—mata hutan yang tahu bahwa luka sekecil apapun bisa membusuk seluruh tubuh. Malam datang membawa mimpi yang bukan sekadar mimpi. Hanjeli berdiri di tengah Hutan Seraya yang membusuk; pohon-pohon merunduk bagai orang-orang kalah, sungai kering seperti rongga mata yang menangis habis-habisan. Dari kabut yang melata, Pohon Nenek menjulang, suara tuanya bergema dalam jiwa Hanjeli: Kami adalah nyawa tanah ini. Jika kami lenyap, air akan berhenti berbisik, tanah akan berhenti bernyanyi, dan manusia akan berbicara kepada langit yang tak menjawab.
Hanjeli terbangun, tubuhnya dirajam keringat dingin. Ia tahu, ia tak bisa diam. Pagi buta, ia berlari ke rumah Pak Sarto, kakeknya—penjaga cerita dan rahasia dunia.
"Kek," serunya, napasnya bercampur getir.
"hutan memanggil. Kita harus mendengarnya," Pak Sarto, dengan rambut seputih kabut dan tangan berurat, menatapnya dalam-dalam, seolah membaca naskah tak terlihat di udara.
Ia mengangguk. Hanjeli mengumpulkan teman-temannya. Bima, yang matanya menyala seperti bara; Sari, yang suaranya mengalir seperti sungai sebelum dikotori. Mereka membuat poster-poster yang lebih seperti mantra: Hutan adalah jantung kita—jangan kau cabik dengan tanganmu sendiri. Mereka menempelkannya di pasar, di balai desa, di tiang-tiang kayu yang lelah. Namun, poster-poster itu diterjang angin ketidakpedulian.
Warga yang telah lapar janji memilih menutup mata. Lalu terdengarlah raung mesin—deru raksasa besi yang melahap pohon-pohon pertama. Hutan berteriak, tapi suara itu hanya gema yang dipantulkan bukit-bukit sepi. Sungai menjadi abu, udara menjadi berat seperti dosa yang disimpan di bawah bantal. Tak tahan, Hanjeli dan teman-temannya mengadakan pertemuan. Di balai desa, di bawah atap kayu yang mengelupas, Hanjeli berdiri. Suaranya kecil, tapi keras kepala seperti akar pohon.
"Hutan Seraya bukan hanya pohon dan air. Ia adalah dada kita, tulang punggung kita. Jika kita mengorbankannya demi serpihan emas, apa yang kita tinggalkan untuk anak-anak kita? Tanah luka? Langit terbakar?"
Ia membentangkan gambar-gambar: sungai yang mengering, tanah yang retak bagai bibir luka. Ia membacakan kisah-kisah leluhur yang pernah mengikat sumpah pada Hutan Seraya—sumpah yang kini hendak dilupakan demi sejumput emas. Sari mengusulkan ide gila: sebuah festival untuk Hutan Seraya. Perayaan, bukan perlawanan.
"Jika manusia lupa, kita harus membuat mereka jatuh cinta lagi," katanya.
Dua minggu kemudian, Hutan Seraya dipenuhi warna. Anak-anak menari dengan tubuh dicat lumpur sungai, menirukan gemulai dedaunan. Ada pameran buah-buah liar, tawa, dan musik bambu yang membelah udara seperti suara dunia lama. Warga yang telah melupakan wangi tanah dan pelukan angin mulai membuka mata mereka.
***
Beberapa utusan MegaCorp hadir, kaku, mata mereka seperti kaca. Tapi bahkan kaca bisa retak oleh keindahan yang murni. Dan keindahan itulah yang memercik dari setiap tarian, setiap nyanyian, setiap cerita yang berputar-putar di antara pohon-pohon tua. Seperti batu kecil dilemparkan ke danau sunyi, cerita Sukamaju bergulir. Seorang penulis dari kota mengangkat kisah itu ke langit digital, dan dunia, perlahan, mendengar. Tekanan datang. MegaCorp mundur, menyisakan janji baru: melindungi Hutan Seraya sebagai taman ekowisata.
Malam itu, Hanjeli berjalan kembali ke Pohon Nenek. Ia menempelkan pipinya ke kulit kasar itu.
"Terima kasih, Nenek," bisiknya.
Angin membelai rambutnya, burung-burung bernyanyi lagi—suara mereka bagai benih harapan yang ditebar di langit malam.
Penulis: Dewi Azzahra
Editor: Dea Cahaya Ramdona
0 Komentar