![]() |
Guy Man People. IMAGE/Pixabay |
www.sinegispress.com - Pagi hari yang indah, birunya langit seakan tersenyum, membuat tubuh otot, sendi, urat-urat, dan pikiran menjadi lemas. Waktu yang tepat untuk mengawali hari bekerja dengan semangat. Itulah yang dikatakan bosku barusan waktu. Dia berkata begitu dengan kopi dan benda-benda manis di hadapannya, tubuhnya gemuk, perutnya besar tak wajar, sepertinya itulah yang menyebabkan ia mempunyai perut yang amat besar, seperti ada semangka di dalamnya.
“Hey, Sulaiboy, senyumlah! Itu akan meringankan beban pekerjaanmu.” Aku tersenyum sambil menahan beban yang kupegang, kertas-kertas kecoklatan pada bagian dasarnya, dengan tulisan yang sangat sulit kupahami: tulisan Arab. Aku tahu itu tulisan Arab karena pernah menanyakannya pada bos. Saat tersenyum kecut itu (mungkin beberapa detik), aku sempat bertanya-tanya, kenapa bos sebelumnya bilang biru langit yang membuat otot, sendi, dan urat-urat ini lemas? Aku bahkan tidak merasakan apapun yang meringankan dari pagi. Apa mungkin karena bos itu mampu menyerap energi langit? Entahlah. Orang yang tak pernah belajar sepertiku sepertinya tak akan memahami ucapannya yang telah membaca buku selama 16 tahun itu.
“Sulai, lanjutkan kerjamu, kenapa malah diam? Kalau terus diam kau tidak akan pernah sukses sepertiku.”
“Baik, Bos.” Bos sepertinya tidak mau rugi dengan waktu, barang sedetik pun nampaknya. Alasannya karena beberapa bulan lalu (bos sendiri yang mengatakannya), dia diberi bekal saat seminar bahwa ‘sukses itu perlu memanfaatkan semua hal yang ada di sekitar, lalu jangan malas, terus berusaha,’ maka dari itu beliau sangat ketat pada waktu.
Pukul 2 siang hari ini, aku diberi makan oleh bos. Pada waktu ini, aku bertemu dengan satu-satunya adik kecilku, Yeni Yulyani. Dia mempunyai tubuh kurus dan pendek bagi anak seusianya, hidungnya mungil padat, bibirnya kecil, dan matanya sayu tapi pandangannya terasa kuat. Secara keseluruhan wajahnya kecil tapi pipinya cukup besar dan sedikit berwarna merah muda (seperti buah alpukat, seperti kau bisa tidur di atasnya hingga tenggelam ke dalamnya). Hal itu terkadang membuatku gemas, sehingga sesekali aku menarik pipinya hingga sangat memerah. Adikku bekerja pada bagian melipat kertas dan menyatukannya dengan dua besi kecil pada bagian tengah.
“Kak, dingin sekali hari ini,” ungkap adikku dengan ekspresi lemas.
“Iya, De, kau tahu kenapa? Itu karena Kakak belum mencubitmu,” jawabku mengajak canda. Adikku menggerutu sambil menjaga pipi-pipinya itu agar terhindar dari jariku.
“Ayo, lanjutkan makan, barangkali bos mendadak memanggil kita seperti kemarin.” Adikku mengangguk dan melanjutkan sisa makanannya. Hari ini kita cukup beruntung karena diberi masing-masing satu tahu. Biasanya kami memakan nasi putih dengan kuah asin dan dedaunan hijau kecil.
“Ah! Shhh,” dagu bagian atas terasa sakit karena menyentuh sendok secara tak sengaja saat aku menyuapkan makanan ke dalam mulutku. Beberapa hari lalu, aku menaiki motor tua, tentu dengan helm, untuk mengantarkan kertas dari pasar menuju tempat kerja kami. Mungkin karena beban yang tak kuasa ditahan motor dan jalanan yang berlubang, aku secara tak sengaja terjatuh, terjungkal ke samping sekaligus depan, kertas-kertas yang kubawa mendorong punggungku ke depan, hingga akhirnya daguku berbenturan dengan jalan hingga rusak. Saat itu sekilas aku berpikir, apa helm ini benar-benar berfungsi melindungiku? Aku pernah melihat helm yang menutupi hingga dagu, tapi aku tak pernah punya uang untuk membeli alat seperti itu. Andai saja bos mau memberikanku, tapi tidak mungkin akan diberi, karena biar bagaimanapun helm memiliki harga. Helm bekas seperti ini saja, bos menggerutu saat meminjamkannya.
“Kak, masih sakit yah?” tanya adikku. Aku mengelak, agar adikku tak khawatir, tapi tetap saja sepasang mata itu terus mengawasi ekspresiku seperti tidak percaya dengan tatapan khawatir. Aku mencubit pipinya untuk mengalihkan perhatiannya. “Aw, sakit, Kakak.”
Barang sepuluh menit telah berlalu setelah pertama kali makan, bos memanggilku, “Sulaiman, kemari! Ada kertas yang tidak rapih, nanti akan terlipat dan itu merusaknya, jangan makan melulu, cepat betulkan! Hal tersebut akan mempengaruhi penghasilan saya, kalau rugi kau tidak akan di gaji bulan ini, bodoh!” Aku mengiya-kan, kami sudah tidak kaget dengan nada tingginya seperti itu. Setiap kami melakukan kesalahan yang terlihat olehnya, si Perut Buncit itu akan memarahi kami. Ingin sesekali aku berterus terang dan membalas dengan mengatakan, ‘Iya, Buncit!’, tapi kami tahu posisi kami hanyalah seorang buruh di posisi paling bawah, paling hina--setidaknya bagi bos kami, mungkin pantasnya jika dikatakan budak.
Kali ini nampaknya aku akan bekerja ekstra lagi. Biasanya kami bekerja dari pukul 6 pagi sampai malam, kira-kira selesai pukul 10. Belum lagi jika melakukan kesalahan seperti tadi, kami harus memperbaiki kesalahan kami hingga selesai, kami akan bekerja lebih lama lagi, kami bekerja tidak mengenal waktu.
Saat ini kegiatanku sudah selesai, kertas-kertas itu telah rapih kembali. Aku melihat jam di dinding, “Pukul satu malam rupanya. Sebaiknya aku segera beristirahat juga.” Adikku telah tidur duluan, tadinya dia akan membantuku, tapi aku menolak karena adikku nampak kelelahan pula. Aku sarankan dia tidur dan menurut walau dengan sedikit bujukan.
Kami tidur di ubin, beralaskan kain sarung yang dirobek pada satu sisinya. Aku mulai berbaring, memejamkan mata perlahan-lahan, hingga akhirnya tertidur tanpa kusadari.
Malam ini, mimpi itu datang lagi, kejadian di mana aku bisa seperti ini. (mic/tra).
...bersambung
Penulis: Michael Frans Hermanias
Editor: Tri Asep Tumbara
0 Komentar