Lapangan Rektorat Universitas Kuningan. FOTO/uniku.ac.id


www.sinergispress.com – Beberapa hari lalu ada teman yang mengirim pesan kepada saya melalui WhatsApp, isinya adalah teman saya mengajak untuk mengikuti diskusi yang diselenggarakan oleh ormawa, diskusi ini membahas mengenai sistem oligarki di Indonesia. Pemantik diskusi tersebut pun dari kalangan akademisi yang punya nama seperti Martin Suryajaya, Prof. Ariel Heryanto, Geger Riyanto. Diskusi ini bertempat dalam mimpi saya yang indah. 

Sungguh, saya memiliki keinginan untuk ada atau mengadakan diskusi seperti dalam mimpi saya tersebut. Hanya saja kenyataan berkata lain, yang menjamur adalah kegiatan olahraga atau game online. Tidak salah memang, tetapi jika kegiatan seperti itu sering kali diadakan maka apa yang didapat untuk bekal masa depan nanti?

Apa amunisi mahasiswa jika ada suatu masalah dalam kampus atau ada isu hangat skala nasional, amunisinya apakah otot kekar serta skill tendangan pisang milik Makoto Soda? Epic come back kah? Bukan, jawabannya adalah pikiran kritis mahasiswa.

Kegiatan-kegiatan dalam kampus alangkah lebih baiknya distabilkan oleh organisasi mahasiswa agar terciptanya tatanan yang baik, maksudnya kegiatan tidak terlalu berat sebelah. Karena kampus adalah wahana mahasiswa untuk berkembang menjadi akademisi suatu saat nanti.

Saya pernah bertanya kepada teman saya yang mengikuti ormawa di fakultasnya, pertanyaan saya mengapa setiap ormawa mengadakan acara yang sifatnya hiburan? Teman saya menjawab dengan lantang serta gagah seperti Lenin yang akan orasi di forum Internasionale III, jawabannya adalah “karena mahasiswanya jenuh belajar,” saya terkejut saat mendengar jawabannya, keterkejutan saya sama dengan saat mendengar bahwa Isyana Sarasvati akan menikah.

Mari bahas jawaban teman saya, benarkah mahasiswa jenuh belajar atau teman saya itu hanya bergurau saja. Tetapi jika memang benar, membingungkan sekali karena sistem pembelajaran di kampus pun belum bisa dikatakan baik. Mengapa belum bisa dikatakan baik, karena bagi saya ada beberapa dosen yang masih melihat bahwa mahasiswa itu sederajat ilmunya dengan dia. Dosen sebagai pengajar belum bisa menjadi komunikator terkait bidang ilmunya, padahal mahasiswa membutuhkan peran komunikator tersebut agar pembelajaran dapat berjalan asyik tidak membosankan. Maka saya sepakat dengan seorang ilmuwan Amerika, yaitu Carl Sagan, bahwa dalam suatu ilmu pengetahuan (sains) harus memiliki komunikatornya agar si ilmu pengetahuan (sains) menjadi seru.

Kembali ke pembahasan sebelumnya, terkait minim sekali kegiatan akademik di kampus. Sebenarnya ada kegiatan akademik di kampus, yaitu seminar. Ya, seminar. Seminar yang kalau dalam sesi tanya jawab para pesertanya diam saja, entah apa tujuan peserta itu ikut, mendapatkan sertifikat atau materi yang dibahas oleh si Pembicara.

Seminar di kampus yang saya lihat kerap kali mengangkat tema bisnis atau wirausaha, serta kalimat yang tidak bisa dipisah dari tema tersebut adalah “Revolusi Industri 4.0.” Perlu diapresiasi memang, hanya saja bagi saya jika mengadakan seminar tersebut seperti mencederai kampus. Karena saya beranggapan bahwa kampus adalah tempat mengembangkan ilmu pengetahuan bukan tempat membuka lapangan kerja maupun industri.

Pada intinya saya berkeinginan agar setiap ormawa tahu fungsi utamanya, serta ormawa bisa lebih spesifik dalam mengadakan suatu kegiatan. Fungsi spesifik ini tercipta agar lajur ormawa dapat lurus, tidak kemana-mana, sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Saya pikir setiap ormawa bisa lebih mengkhususkan lagi pergerakannya atau berkegiatannya. Misalnya, Hima bisa bergerak dalam ruang lingkup akademik kampus dengan artian Hima melayani mahasiswa, seperti mata kuliah apa yang memang perlu dibuat diskusi dan pembicaranya bila perlu dari luar kampus jika memang memungkinkan.

Sedangkan BEM lebih luas lagi, BEM bisa mengadakan kegiatan akademik mau pun juga hiburan. Akademik BEM bisa mengadakan kegiatan seminar, seminar yang berbeda dan punya sudut pandang tersendiri, misal mengadakan seminar dengan tema nasionalisme tetapi pembicaranya bukan dari kalangan aparatur negara. Lalu, seminarnya pun jangan melihat pasar, jika memang di kampus seminar tema bisnis sedang ramai maka perlu lah pembanding untuk pasar tersebut. Untuk hiburan, saya berpikir bagaimana kalau hiburannya punya nuansa berbeda, mungkin bisa mengadakan acara stand up comedy, gigs yang musikusnya bisa dari kalangan mahasiswa.

Singkatnya sistem ormawa yang saya inginkan seperti ini, dimana sangat harmonis sekali jika memang bisa berjalan dengan baik. Seperti judul musik dari Efek Rumah Kaca, yaitu pasar bisa diciptakan, maka sama halnya dengan acara nuansa akademik, bahwa “Acara Akademik Bisa Diciptakan.” (arf/tra) 


Penulis: Arfan Muhammad Nugraha
Editor: Tri Asep Tumbara