![]() |
Cover buku Membunuh Hantu-Hantu Patriarki. Sumber: www.deasafirabasori.com |
Tulisan ini dibuat sebagai bahan diskusi untuk anggota Sinergis, agar anggota yang belum membaca buku yang didiskusikan bisa mengikuti diskusi dan tertarik untuk membacanya.
www.sinergispress.com - Sebelum membahas mengenai isi buku Membunuh Hantu-Hantu Patriarki, alangkah lebih baiknya saya membahas sedikit si empunya buku tersebut, yakni Dea Safira. Dea merupakan seorang feminis sekaligus seorang dokter gigi. Dea juga suka menuliskan pemikirannya tentang feminisme melalui medium alternatif yang memang sering membahas mengenai isu sosial, salah satunya melalui akun Instagram, Dea adalah admin dari akun @feminis.
Kenapa saya memilih untuk mendiskusikan buku mengenai feminisme ini? Karena menurut saya isu yang berkaitan dengan feminisme atau keperempuanan adalah hal yang sangat menarik jika dijadikan sebuah diskusi, sebab di luar sana beberapa orang masih menganggap bahwa feminisme adalah sebuah gerakan sesat, padahal pada kenyataannya, gerakan feminisme tidak seperti itu.
Alasan lain kenapa buku ini menarik untuk dibaca dan dibahas, karena buku Dea secara isi tulisan seperti catatan pendek, dengan itu buku tersebut sangat mudah dipahami. Seperti saya yang awalnya membaca ulasan yang asalnya dari persepsi-persepsi keliru di media sosial mengenai feminisme, jadi mempunyai persepsi atau pandangan yang lain soal feminisme. Misalnya, feminisme bukan gerakan sesat tetapi gerakan untuk menyuarakan ketertindasan perempuan maupun laki-laki oleh budaya patriarki yang sudah sangat melekat. Pada akhirnya, kita semua tahu bahwa perempuan perlu menguatkan posisi. Tidak terus berjalan sendiri-sendiri, apalagi seperti yang sudah-sudah: saling menjatuhkan satu sama lain.
Buku ini dibagi menjadi tiga pembahasan, yaitu (1) mengenai pemikiran perempuan, (2) terkait membangun cinta setara, dan (3) mengenai membunuh hantu-hantu patriarki.
Dalam pembahasan mengenai pemikiran perempuan adalah pembahasan mengenai feminisme dan pembebasan perempuan. Bahwa kata feminisme berasal dari Prancis. Feminisme memiliki arti, sebuah ideologi politis yang berasal dari perempuan yang mengalami ketertindasan. Di mana ketertindasan ini berlandaskan banyak hal: gender, orientasi seksual, ras, kelas, etnis, agama dan lain halnya.
Ada sebagian orang, khususnya di lingkungan saya, masih menganggap bahwa feminisme adalah sebuah gerakan kebarat-baratan, gerakan orang luar negeri, atau ada juga yang mengatakan bahwa feminisme adalah sebuah gerakan sesat, dimana perempuan menginginkan coup (penggulingan) terhadap laki-laki atau lebih segalanya dari laki-laki.
Padahal, menurut saya tidak seperti itu, bahwa feminisme bukan sebuah gerakan yang sesat, bukan gerakan ingin menggulingkan laki-laki. Feminisme adalah sebuah gerakan yang menyuarakan keresahan perempuan dari ketertindasan yang dialaminya, di mana sering kali terjadi anggapan atau stigmatisasi negatif kepada perempuan, perempuan mengalami peminggiran dari keinginan yang dimilikinya, perempuan yang menjadi korban kekerasan, perempuan mengalami beban ganda, dan sebagainya.
Hal ini menurut saya sangat mengerikan, di mana memang tidak dapat dipungkiri akibat dari budaya patriarki yang telah mengakar dan melekat. Setidaknya dengan membahas buku ini dapat menambahkan kepekaan kita terhadap isu-isu keperempuanan yang terjadi di lingkungan sekitar. Kita mendapatkan pandangan baru yang memang mencerahkan dari anggapan atau perspektif yang salah. Dalam buku ini juga dikatakan bahwa semua perjuangan feminisme sebetulnya untuk nilai-nilai keluarga lebih baik.
Ada pembahasan yang menarik, bahwa “tempat perempuan bukan hanya di rumah.” Teman-teman yang aktif di media sosial, mungkin mengetahui meme-meme para wanita sholehah, seperti menyuarakan “perempuan sholehah itu di rumah tempatnya, untuk mengurus rumah tangga atau perempuan mulia itu yang mematuhi suami,” ini agak keliru sih tepatnya, ini memang merupakan sebuah gerakan merumahkan perempuan.
Padahal, menurut saya perempuan berhak untuk memutuskan pilihannya, untuk menjadi wanita karir yang memang beraktivitas di luar rumah atau menjadi ibu rumah tangga yang tetap berada di rumah. Perempuan berhak menentukan prioritas pilihannya menurut keputusannya sendiri, tidak ada ancaman atau tekanan dari luar. Karena, ada beberapa perempuan yang mempunyai banyak keinginan yang harus tercapai, seperti perempuan itu ingin berkembang, ya dia berhak untuk beraktivitas di luar rumah.
Perempuan yang tetap berada di rumah tidak bisa menjamin tidak adanya kekerasan dalam rumah tangga. Faktanya juga, rumah yang dilabel sebagai tempat aman justru bisa saja menjadi tempat potensial terjadinya kasus kekerasan.
Dalam buku ini, Dea mencantumkan data Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan tahun 2019, bahwa dalam rentang tahun 2017 sampai 2018 terjadi peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan sebesar 14%. Catahu 2019 juga menunjukkan bahwa suami sebagai pelaku tindak kekerasan masih berada di peringkat teratas.
Selain hal di atas, pembahasan lain yang penting misalnya mengenai cuti haid. Dalam ruang publik, perempuan berhak untuk mendapatkan cuti haid-nya, karena memang dalam undang-undang sudah tertera cuti haid dua hari untuk perempuan. Hanya saja permasalahannya, masih banyak perempuan yang belum mendapatkan haknya. Masih banyak yang beranggapan bahwa “perempuan manja ngambil cuti haid segala.” Padahal ada beberapa perempuan yang merasakan sakit yang luar biasa ketika haid datang. Maka perlunya kesadaran laki-laki untuk bisa sama-sama menghargai perempuan.
Ada salah satu kasus di desa pedalaman yang mana perempuan belum memiliki kebebasannya, tidak mendapatkan akses yang layak untuk perempuan. Karena umumnya mereka dikucilkan di rumah khusus menstruasi yang tidak memiliki akses kebersihan sedikit pun sehingga mereka harus meninggalkan sekolah. Perempuan yang menstruasi dianggap kotor atau sebagainya. Padahal sebuah hal wajar bagi perempuan ketika mengalami menstruasi.
Dalam buku ini, Dea juga menyinggung perihal cinta setara, di mana seseorang ketika memutuskan untuk tidak menikah, itu adalah bukan sebuah hal tabu atau hal yang salah, karena ketika sudah menjadi pilihannya, ya kita sebagai orang yang mengetahui hal itu bisa untuk menghargainya.
Hal lainnya juga, Dea membahas terkait penting untuk mencintai diri sendiri sebelum memutuskan untuk mencintai orang lain. Hal yang paling penting, Dea juga menyinggung perihal pentingnya pendidikan seks, dimana masih banyak kasus pernikahan dini untuk perempuan di bawah umur 16 tahun. Hal ini menjadi isu penting yang harus diketahui dan dibahas, agar kita bisa mengetahui sedikit pentingnya kita untuk mempelajari fungsi organ reproduksi, dan sebagainya.
Tidak dapat dipungkiri budaya patriarki memang masih sangat melekat, masih banyak kasus kekerasan yang terjadi kepada perempuan yang sudah menikah atau belum menikah. Bisa dikatakan karena dominasi laki-laki atas tubuh perempuan yang ingin terus dipertahankan. Perempuan yang memang masih menjadi objektifitas laki-laki atas segala hal, masih mengatur dalam segi berpakaian perempuan dan sebagainya.
Dari sekian hal yang dibahas di atas merupakan bagian kecil pemahaman saya setelah membaca buku, dan perlu digarisbawahi juga terkait feminisme, feminisme tidak hanya menyuarakan perempuan yang tertindas saja, tetapi untuk menyuarakan laki-laki yang mengalami ketertindasan juga. Karena tidak hanya perempuan yang mengalami kekerasan atau pelecehan seksual, laki-laki pun pasti ada yang mengalami hal itu. Kita harus bisa lebih membuka pandangan bahwa perempuan atau laki-laki sah saja untuk bisa menyuarakan apa yang pernah terjadi kepada dirinya. Karena menjadi manusia, tidak hanya perempuan yang akan mengalami kelemahan, lelaki pun pasti pernah mengalami hal itu.
Penulis: Maryati
Editor: Tri Asep Tumbara
1 Komentar
😇👍👍
BalasHapus