![]() |
Cover
Pasung Jiwa karya Okky Madasari |
Judul : Pasung Jiwa
Penulis : Okky Madasari
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 328 hlm; 20 cm
Cetakan : Pertama, Mei 2013
ISBN : 978-979-22-9669-3
www.sinergispress.com - Saya memilih buku "Pasung Jiwa" sebagai bahan diskusi karena menarik. Ini adalah kali kedua saya membaca buku "Pasung Jiwa" karena pertama kali saya membaca bukunya jujur saya kurang mengerti, karena buku yang saya baca versi bahasa Inggrisnya.
Selain itu buku ini menurut saya menarik karena berisikan tentang manusia-manusia yang mencari kebebasan sebenarnya. Mereka ingin terlepas dari belenggu norma yang membuat mereka merasa terikat dan terperangkap di dalam hidupnya. Di buku ini juga disisipkan bumbu sejarah tetapi hanya sedikit, buku ini menyinggung tentang seorang buruh bernama Marsini yang dikisahkan seperti Marsinah serta buku ini juga menggambarkan ormas setelah masa reformasi.
Sebelum mengulas kembali cerita dalam novel "Pasung Jiwa" mari mengenal penulisnya yaitu Okky Puspa Madasari atau yang biasa dikenal dengan Okky Madasari. Pekerjaannya adalah sebagai jurnalis dan peneliti penulis. Selain itu, beliau adalah pemenang penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa pada tahun 2012 untuk novel ketiganya yang berjudul "Maryam" yang mengisahkan tentang kaum minoritas karena keyakinan mereka yang berbeda (Ahmadiyah). Selain itu beliau telah mengeluarkan buku yang berjudul Entrok (2010), 86 (2011) , Maryam (2012) , Pasung Jiwa (2013) , Kerumunan Terakhir (2016) , Yang Bertahan dan Binasa Perlahan (2017), Mata di Tanah Melus (2018), Mata dan Rahasia Pulau Gapi (2018), Mata dan Manusia Laut (2019) dan yang terakhir Okky mengeluarkan e-book (electronic book) yang berjudul "Geneaologi Sastra Indonesia : KAPITALISME, ISLAM DAN SASTRA PERLAWANAN".
Kembali ke isi buku yang telah saya baca, buku ini menceritakan tentang pergulatan manusia untuk mencari kebebasan sesungguhnya, tapi lagi-lagi manusia tidak bisa keluar dari pergulatan dan keresahan mereka karena terikat oleh norma yang ada. Dalam novel ini terdapat dua tokoh utama yaitu Sasana (Sasa) dan Jaka Wani (Cak Jek) ditambah dengan beberapa tokoh seperti Elis, Kalina dan Banua yang masih mempunyai benang merah yang saling mempertahankan mereka.
“Seluruh hidupku adalah perangkap. Tubuh adalah perangkap pertamaku. Lalu orangtua, dan semua orang yang kukenal. Kemudian segala hal yang kuketahui serta segala sesuatu yang kulakukan.” Sasana (hal 9).
Cerita dibuka dengan menyajikan tokoh Sasana kecil yang sudah terperangkap dalam tubuh seorang laki-laki. Ia tidak menyukai tubuhnya dan namanya. Namanya seperti sesuatu yang berkaitan dengan maskulinitas, kemarahan dan pertarungan, berbeda dengan jiwanya yang feminin. Sejak kecil Sasana dipaksa untuk bermain musik klasik menggunakan piano yang dibeli oleh orang tuanya. Ia memainkan Mozart, Beethoven, Chopin, dengan pikirannya bukan dengan hatinya. Musik klasik adalah sesuatu yang sangat kontras dengan dirinya, karena Sasana jatuh cinta dengan musik dangdut. Dimana dangdut adalah musik orang-orang mabuk dan musik yang tidak disukai oleh kedua orangtuanya. Sasana kecil tidak bisa melawan karena dia masih berada dibawah awasan orang tuanya sehingga menjadikannya seperti seorang people pleaser.
Beranjak ke bangku SMA, Sasana dimasukkan ke dalam sekolah Katolik yang berisikan hanya laki-laki. Orang tuanya tidak perduli sekolah Katolik karena yang mereka inginkan hanyalah yang terbaik bagi anaknya. Meskipun disekolahkan di sekolah Katolik kedua orangtuanya tak lupa memanggil guru mengaji bagi Sasana setiap Sabtu sore untuk mengajari Sasana mengaji dan agar mendapatkan asupan agama. Adalah orang tua yang menginginkan yang terbaik bagi anaknya ,tetapi apa yang dilakukan oleh orang tua Sasana rupanya salah. Mereka malah orang yang membuat Sasana menderita. Sasana diperas , dikeroyok dan diperlakukan seperti binatang di sekolahnya setelah dia tak berdaya melawan kakak kelasnya yang menyebut diri mereka "Dark Gang".
Setelah Sasana diserang oleh Dark Gang orangtuanya melaporkan kejadian tersebut kepada pihak kepolisian namun hasilnya nihil. Polisi tidak memproses kasusnya dikarenakan anggota Dark Gang tersebut adalah anak pejabat dan anak seorang jendral. Ayah Sasana sebagai pengacara merasa tidak berguna. Hanya titel sarjana hukum saja tetapi mengatasi kasus kecil seperti ini yang menimpa anaknya tidak bisa dan merasa tak berdaya. Pada akhirnya Sasana dipindahkan ke sekolah biasa.
Lompat ke bangku kuliah, Sasana pindah ke Malang untuk berkuliah. Ia mengambil jurusan yang sama seperti ayahnya yaitu hukum. Di Malang Ia bertemu dengan Cak Man yaitu seorang pemilik warung dimana Sasana juga bertemu dengan Jaka Wani yang biasa disebut dengan Cak Jek. Cak Jek adalah seorang pengamen di warung Cak Man, Ia dulu sempat merasakan bangku kuliah di salah satu universitas lokal di kotanya, dia meninggalkan bangku kuliah padahal ketika itu hanya tinggal skripsi saja tetapi dia meninggalkannya karena dia merasa jiwanya adalah jiwa seniman. Jiwa yang memiliki seni.
Bertemu dengan Cak Jek akhirnya Sasana menemukan dirinya yang sebenarnya yaitu seorang Sasa. Sasana yang dulu sangat menginginkan feminitas dalam dirinya akhirnya bisa tercapai. Ia menjadi seorang pengamen dengan Cak Jek mengelilingi kota Malang setiap malam dengan menggunakan gincu, baju yang mencolok dan make up yang menawan. Ditengah kesibukan mengamen , Cak Jek dan Sasana bertemu dengan empat orang yang menyebut mereka sendiri dengan sebutan Kaum Marjinal, mereka biasanya hanya luntang-lantung di kota, mereka membicarakan tentang politik dan berbicara tentang pemerintah yang penuh korupsi. Selain bertemu dengan Kaum Marjinal, mereka juga bertemu dengan Memed dan Leman, mereka adalah anak-anak kelas empat sekolah dasar yang tidak lagi memiliki orang tua. Karena kasihan akhirnya Memed dan Leman diajak Cak Jek dan Sasana untuk mengamen bersama.
Kebersamaan mereka akhirnya tak berlangsung lama dikarenakan anak Cak Man yang bernama Marsini hilang. Marsini adalah seorang buruh di pabrik sepatu yang ada di Sidoarjo. Ia sudah hilang empat hari. Dengan adanya kasus Marsini tersebut mengusik jiwa dan kegelisahan yang timbul dalam diri Sasana dan Cak Jek untuk membantu Cak Man menemukan anaknya. Mereka menyusun rencana yaitu akan melakukan demonstrasi ke pabrik dimana Marsini bekerja. Jika dengan cara baik-baik tidak bisa maka demonstrasilah jalan keluarnya. Mereka menggunakan Sasana agar menarik buruh lainnya karena Sasana biasanya berdandan nyentrik dengan gincu yang mencolok dan pakaian yang serba mencolok sehingga dapat mengumpulkan kerumunan massa buruh.
Pagi-pagi mereka berangkat ke Sidoarjo menggunakan kereta dengan membawa Kaum Marjinal, Memed dan Leman. Setelah sampai di pabrik tempat Marsini bekerja mereka menanyakan kepada satpam dimana Marsini sekarang, namun sayang satpam tersebut malah mengusir mereka. Hingga akhirnya demonstrasilah jalan keluarnya. Dengan penampilan yang mencoloklah Sasana bisa mengumpulkan kerumunan massa untuk melakukan demonstrasi demi mencari dimana Marsini sebenarnya. Demonstrasi itu tak berlangsung lama dikarenakan hingga akhirnya Sasana,Cak Jek, Leman ,Memed dan Kaum Marjinal ditangkap oleh polisi dan tentara.
Setelah penangkapan itu akhirnya Sasana dimasukkan ke sebuah sel, didalam sel tersebut Sasana diperlakukan tidak adil. Ada empat orang manusia yang memperlakukan Sasana seperti binatang, mereka memaksa Sasana untuk menuruti keinginan mereka. Sasana dipukul, disiksa , diperkosa bahkan yang paling bejat: Sasana dipaksa melayani nafsu para aparat tersebut. Sudah dua minggu Sasana berada di tempat sel tersebut. Pada akhirnya ia dibebaskan dan dari situlah Sasana baru mengetahui bahwa tempat yang ditempatinya selama ini adalah sebuah Koramil.
Setelah mendapatkan perlakuan yang tak menyenangkan akhirnya Sasana kembali ke Jakarta untuk memulai hidup yang baru dan kembali kepada orang tuanya. Di Jakarta akhirnya Sasana didaftarkan lagi untuk kuliah dengan jurusan yang masih sama seperti ketika dia berkuliah dulu di Malang yaitu jurusan hukum.
Hari pertama masuk kampus Ia merasa semua orang disana seperti memperhatikannya, seolah-olah orang lain sedang menguntitnya, akan mengaraknya keliling kampus dengan perlakuan yang tidak mengenakan dan membuat Sasana menjadi cemas. Pada saat itu juga bayangan-bayang gelap tentang perlakuan tidak mengenakan ketika ia ditangkap dulu muncul, sehingga mengakibatkan Sasana menjadi sangat cemas seperti orang yang mengalami Generalized Anxiety Disorder (GAD), kecemasan itu makin menjadi sampai akhirnya Sasana mengelilingi kantor rektorat beberapa keliling hingga akhirnya dia pingsan.
Setelah pingsan Sasana dibawa ke suatu tempat dimana tempat itu belum diketahui, dan ternyata tempat tersebut adalah Rumah Sakit Jiwa (RSJ). Di RSJ tersebut Ia bertemu dengan Banua, orang yang masuk RSJ karena tidak tahan ketika memasuki masa SMP dulu ia dipaksa kedua orang tuanya untuk dimasukkan ke pesantren. Setelah mengenal Banua dan bercerita mengapa Banua bisa masuk RSJ akhirnya mereka menjadi teman dekat. Hingga pada suatu pagi hari dimana biasanya para pasien yang gila tersebut berkumpul di halaman untuk melaksanakan olahraga pagi, ada yang berbeda dari Banua, dia tidak keluar kamarnya. Usut punya usut ternyata Banua bunuh diri di kamarnya dengan cara menusuk dirinya menggunakan pisau yang biasanya tersedia di meja makan, tempat dimana para orang gila di RSJ tersebut mengambil makan. Dan yang paling mengejutkan adalah adanya tulisan di kamar Banua ditemukan mati yang berisi "AKHIRNYA AKU BEBAS".
Ya, akhirnya Banua bebas dari belenggunya, bebas dari teralis dan tembok-tembok yang ada disini. Setelah kematian Banua akhirnya pihak RSJ memperketat pengawasan mereka. Ditengah kepergian Banua , Sasana mengenal perawat yang bernama Masita, Ia menganggap para orang gila itu dengan cara berbeda. Hingga pada akhirnya Masitalah yang dapat mengeluarkan Sasana dan temannya yang lain dari RSJ.
"Tidak ada jiwa yang bermasalah.Yang bermasalah adalah hal-hal yang ada diluar jiwa itu. Yang bermasalah itu kebiasaan, aturan, orang-orang yang mau menjaga tatanan. Kalian semua harus dikeluarkan dari lingkungan mereka, hanya karena kalian berbeda" Masita (hal 146).
Lalu bagaimana dengan keadaan Cak Jek? Cak Jek akhirnya kembali ke Malang dan memutuskan untuk membantu Ibunya dengan cara menjadi seorang buruh pabrik di Batam. Ia menyusul Kakangnya yang ada di Batam. Selama di Batam Ia berkenalan dengan Elis. Elis adalah seorang pelacur yang berasal dari Indamayu. Sintai, nama salah satu tempat prostitusi yang sangat terkenal bagi para buruh di Batam yang hanya ingin sekedar mencari kesenangan belaka. Elis memutuskan menjadi pelacur dikarenakan terkungkung oleh suaminya yang suka bermain dengan perempuan lain meskipun sudah mempunyai istri dan anak. Daripada hidup dengan lelaki bajingan, Elis lebih memilih untuk menjadi pelacur demi menghidupi anaknya. Jika orang pintar bekerja dengan otaknya, buruh bekerja dengan tenaganya , Elis lebih memilih untuk bekerja dengan tempiknya.
Setelah bertemu dengan Elis lalu Cak Jek bertemu dengan Kalina. Kalina adalah seorang buruh di pabrik yang sama. Ia terkungkung karena kediktatoran mandornya. Ia diperkosa, dipaksa untuk melayani nafsu bejat mandornya. Ia memberontak dengan cara berteriak di pabrik hingga pada akhirnya Ia dipecat dan menggugurkan kandungannya.
Hal yang sama pun terjadi pada Cak Jek, dia tak sengaja memecahkan layar televisi yang sedang ia bersihkan, sehingga gajinya harus dipotong. Karena merasa tak adil, dan apa yang dilakukannya adalah sebuah ketidaksengajaan maka ia protes terhadap apa yang menimpanya. Sehingga pada suatu malam Cak Jek dan Kalina beserta teman buruh lainnya berkumpul di mes dimana mes tersebut dahulu adalah tempat tinggal Cak Jek sebelum dipecat. Mereka mengumpulkan buruh lain untuk menggelar demontrasi besok pagi, namun sayang rencana itu tercium oleh pihak perusahaan dimana mereka bekerja. Pada akhirnya Cak Jek memilih kabur melompati dinding tinggi di dekat mesnya dan berhasil melarikan diri ke dalam selokan dengan cara menyeburkan dirinya.
Lalu bagaimana dengan Sasana? Setelah berhasil melarikan diri dari RSJ akhirnya dia kembali ke Malang untuk mengamen di pasar. Ketika di pasar tersebut lagi-lagi dia menjadi korban kekerasan. Sasana yang malang. Setelah itu Sasana memutuskan untuk kembali lagi ke Jakarta untuk menemui keluarganya. Setelah sampai di Jakarta keluarganya tidak menerima Sasana, hanya Ibunya saja yang perduli dengannya. Ibunya rela bermusuhan dengan ayahnya dan meninggalkan Melati, adiknya yang sangat dia cintai. Dengan rasa malu bercampur aduk, Ibunya Sasana rela meninggalkan kehidupan mapannya, dia rela meninggalkan pekerjaannya menjadi seorang dokter bedah demi menjadi manajer Sasana dan membahagiakannya. Akhirnya dibawah naungan Ibunya, Sasana bisa menjadi artis dangdut profesional dengan goyangannya yang khas.
Dan bagaimana nasib Cak Jek sekarang? Setelah Ia melarikan diri dari Batam, Ia melaut dan sampailah di Jakarta. Ia bertemu dengan Jali. Jali adalah salah satu anggota ormas Islam pada saat itu yang mengajak Cak Jek untuk bergabung. Sebelum bergabung dengan ormas tersebut Jek bertanya-tanya apa pekerjaannya? Lalu Jali menjawab “Nanti saja, nanti juga tahu.” Setelah pertemuan itu ia bergabung dan diperkenalkan dengan seorang Habib. Akhirnya Cak Jek mengganti namanya menjadi Jaka Wani.
Jaka Wani yang pemberani, menjadi anggota Laskar yang bernuansa Islami yang biasa mengadakan patroli demi memberantas maksiat. "Melakukan maksiat, berarti mendustakan agama, dan melanggar hukum negara," begitu intinya. Setiap malam Laskar tersebut melakukan patroli ke kafe-kafe tempat maksiat. Tak jarang mereka juga merampas bir, wine atau minuman keras dari hasil patroli mereka untuk diminum bersama-sama. Hingga akhirnya Jaka Wani kembali ke Malang untuk bergabung dengan Laskar Malang.
Setelah di Malang, Jaka Wani kembali ke rumahnya demi menemui Ibunya. Tetapi ternyata Ibunya sudah tiada. Ibunya terjebak kemiskinan, karena kemiskinan itulah Ia meminjam uang pada rentenir yang sekarang menjadi pemilik rumahnya. Karena kesal, Jaka Wani akhirnya berkumpul dengan Laskar Malang untuk memberantas orang-orang yang “dzalim”. Pada saat itu juga Jaka Wani menjadi terkenal dan tentu saja sering melakukan patroli. Ketika patroli ke rumah rentenir yang menyita rumah Ibunya, sang rentenir bertekuk lutut di hadapannya karena ketakutan. Siapa yang tak takut—wong Jaka Wani membawa segerombolan massa dan mereka membawa benda tajam.
Tiba pada puncak konflik dari cerita dalam novel ini, Jaka Wani berpatroli pada malam hari ke sebuah kafe di kota Malang. Pada malam itu juga Sasana sedang menggelar pentasnya di alun-alun Malang, Sasana kembali menjadi Sasa yang menampilkan goyangannya dan memakai baju seksinya. Ketika malam itulah juga Sasana merasa dikhianati karena Laskar Malang yang dipimpin oleh Jaka Wani alias Cak Jek itu meretas semua impian Sasana. Ironis sekali, Cak Jek yang dulu berbeda dengan yang sekarang. Ketika malam itu juga Sasana mendapatkan perlakuan yang tak senonoh, para anggota laskar tersebut melucuti pakaiannya sehingga hanya menyisakan celana dalamnya saja, akibatnya Sasana dipenjara selama 3 tahun.
Kembali bertemu dengan Sasana, Jaka Wani terbayang-bayang lagi dengan masa kelamnya dulu. Akhirnya dia memutuskan untuk kembali ke Jakarta menemui Habib dan Jali. Ketika di Jakarta, Ia mendapat tugas patroli ke sebuah daerah di Jawa Barat, tentu saja demi menegakkan agama. Ketika sampai di tempat patroli tersebut anggota laskar langsung menyerbu dengan berteriak "Allahu Akbar!". Dan seruan "Bunuh... bunuh!" terus keluar dari mulut Jali. Lalu Jali mengayunkan goloknya pada penghuni rumah yang diduga mengikuti aliran sesat. Ia tusukkan golok ke dalam tubuh orang itu berkali-kali, Ia tebas lehernya sehingga kepala dan badan korban terlepas. "Allahu Akbar!" seru Jali. Setelah kejadian itu Jaka Wani memutuskan kembali untuk ke Malang. Karena dia sadar Jali adalah seorang pembunuh.
Sesampainya di Malang, Jaka Wani ingin menebus rasa salahnya kepada Sasana karena telah menjebloskannya kedalam jeruji penjara. Apa yang tidak bisa dilakukan orang berjubah putih dan bersorban? Jaka Wani menemui Kepala Penjara, meminta izin untuk membawa keluar Sasana beberapa jam saja. Ia berkata ini demi kepentingan Laskar dan kepentingan pembinaan. Akhirnya Kepala Penjara mengizinkan Sasana keluar, Jaka Wani mengelabuhi mereka dengan cara mengarahkan golok ke dekat leher Sasana. Mereka melewati pos penjagaan. Mereka berjalan semakin cepat. Setelah penjara tak terlihat lagi Jaka Wani membuang baju jubah putihnya dan sorbannya. Begitupun Sasana membuang baju tahanannya. "Bebas... bebas, aku bebaaas!" teriak Sasana. Akhirnya mereka berdua menemukan kebebasannya masing-masing. Tak ada lagi yang mengaturnya, tak ada yang melarang, bebas mau melakukan apapun. Ini hidup kami. Ya, hari itu adalah hari puncak kebebasan Sasana dan Jaka Wani yang sebenarnya.
Novel ini menyadarkan kita tentang keberanian yang selalu tersembunyi dibelakang ketakutan dan mengajarkan kita bagaimana memanusiakan manusia, menyadarkan kita bahwa diluar sana ada yang ingin didengar dengan segala keterbatasannya.
Novel ini mengingatkan kita pada zaman reformasi tentang kemana orang-orang yang hilang, jutaan opini yang dibungkam dan kebebasan yang dipendam. Ada apa sebenarnya? Novel ini menarik menurut saya, tetapi ada beberapa diksi yang harus menjadi peringatan karena ada bacaan yang tidak boleh dibaca oleh anak dibawah umur. Tetapi dalam karya seni dan sastra, diksi itu bukanlah sebuah hambatan terhadap apa yang mengusik jiwa selama para pembaca bisa memahami apa yang dibaca dan mengambil sisi positif terhadap apa yang dia baca.
Penulis: Sella Ranatasia
Editor: Arfan Muhammad Nugraha
2 Komentar
Keren. Saya harap semua orang mencari ‘kebenaran’ itu, dan akhirnya saling berusaha memanusiakan manusia.
BalasHapusTerima kasih!
Hapus