Cover buku 9 dari Nadira


www.sinergispress.com – Saya membaca novel 9 dari Nadira berawal iseng sembari menunggu novel Lautan Bercerita yang juga merupakan karya dari penulis yang sama di Ispusnas. Tanpa sebuah ekspektasi apapun untuk membacanya, saya digiring untuk menikmati kelamnya kisah dari seorang Nadira Suwandi yang seolah dipaksa menerima Ibunya tewas bunuh diri di lantai rumahnya.

Novel 9 dari Nadira merupakan kumpulan cerita pendek  karya Leila S. Chudori yang diterbitkan pada tahun 2009. Leila S. Chudori merupakan seorang wartawan majalah berita Tempo. Karya-karya awal Leila dimuat saat ia berusia 12 tahun, pada usia itu ia menghasilkan kumpulan cerita pendek yang diterbitkan di majalah Si Kuncung, Kawanku dan Hai. Pada usia dewasa cerita pendeknya dimuat di majalah Zaman, Matra, majalah sastra Horison, jurnal sastra Solidarity (Filipina), Menagerie dan Tenggara (Malaysia).

Novel ini Terdiri dari 9 cerita pendek, dari sembilan cerita pendek ini, empat diantaranya sudah dimuat di beberapa media, yaitu “Melukis Langit” di majalah Matra Maret 1991, “Nina dan Nadira” di majalah Matra Mei 1992, lalu “Mencari Seikat Seruni” di majalah Horison April 2009, dan “Tasbih” di majalah Horison September 2009. Walaupun kumpulan cerita pendek, setiap bab cerita memiliki benang merah yang sama.

Kematian sang Ibu sangatlah mengejutkan karena sosok Kemala, ibu dari Nadira Suwandi ini dirasa pribadi yang ekspresif dan berpikiran bebas. Hal itu  membuat Nadira bertanya-tanya hal apa yang membuat Ibunya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Tewasnya Kemala mempengaruhi kehidupan Nadira sebagai seorang anak, seorang wartawan, seorang kekasih dan juga sebagai seorang Istri. Kesedihan Nadira ia lampiaskan pada pekerjaannya sebagai seorang wartawan di majalah Tera. Ia hilang kerja dan tak pernah pulang kerumah dengan alasan bahwa nuansa rumah masih menggambarkan kematian Ibunya. Nadira menjadi bahan desas-desus teman kantornya karena setiap hari bermalam di kolong meja kerjanya dan disamakan sebagai gelandangan. Utara Bayu yang merupakan atasan Nadira dikantor merasa iba dan juga memang menaruh hati pada Nadira sejak dulu, tetapi ia enggan untuk mengatakannya. Tara selalu membiarkan Nadira terus luput dalam kedihannya sementara berbeda dengan Niko yang  mengajak Nadira untuk keluar dari masa kelamnya. Niko seperti matahari yang membuat Nadira hangat dan juga membuat Nadira melupakan kematian ibunya. Tetapi hal itu menjadikan Nadira seperti sosok yang berbeda, terlalu memaksakan diri agar cocok dengan seorang Niko.

Pada  novel ini penulis selalu menghadirkan kelam pada setiap tokohnya, beragam sudut pandang dan waktu yang maju mundur terkadang membuat saya bingung dan harus membaca lagi untuk menemukan suatu jawaban pertanyanya. Saya akan membahas sedikit poin-poin dari 9 cerpen dari Nadira ini. Untuk cerita keselurahan anda bisa membaca langsung novelnya.

Ada beberapa konflik psikologis dalam Novel ini, misalnya pada cerita “Nina dan Nadira”, pada cerpen ini saya mengambil poin penting dimana Nina kakak dari Nadira memutuskan untuk menikah dengan Gilang Sukma yang merupakan koreografer dengan rekam jejak buruk, tiga kali kawin, tiga kali cerai dan pacar dimana-mana. Hal itu membuat Nadira heran mengapa kakaknya begitu saja terima dengan biodata buruk seorang Gilang sukma. Jawaban tersebut diceritakan oleh seorang penulis di cerpen “Ciuman Terpanjang”, Nina melakukan ini karena ia  merasa tersaingi dengan Nadira yang sudah memiliki  prestasi sebagai penulis saat usia 12 tahun. Ia merasa bahwa dengan adanya Gilang yang merupakan seorang seniman besar Nina merasa sedikit diperhatikan dan merasa ada kebanggaan.

Selain konflik psikologis, penulis pun memasukan isu-isu feminisme yang tersirat dari seorang Kemala yang merupakan pemuda penuh hasrat kebebasan yang harus menjadi ibu rumah tangga dari ketiga anaknya. Isu feminisme pun digambarkan pula oleh penulis pada karakter Nina dan Nadira yang tidak terikat tradisi lokal dan bebas menggapai pendidikan. Tidak jauh dari isu feminisme dalam novel ini menambahkan bagaimana budaya patriarki melekat pada keluarga Bramantyo (Ayah Nadira). pada saat tahun 1964, Kemala dan Bram memutuskan untuk pulang ke Indonesia setelah beberapa tahun di Belanda dan menemui keluarga Bram di Jakarta. Ayah Bram memiliki enam orang anak. Dia memiliki peraturan sangat ketat agar semua anaknya menikah setelah menyelesaikan pendidikanya. Berbeda dengan Bram yang  memilih menikahi Kemala ditengah masa pendidikannya, membuat Ayah Bram tidak menyambut baik kedatangan Kemala, menantunya yang sudah merusak gambaran orangtua atas hidup anaknya. Dalam cerita ini juga Keluarga Bram terlalu mempersoalkan ibadah (kegiatan spiritual) dari Kemala sedangkan keluarga Kemala merupakan kebalikannya, terlahir dari seorang pengusaha keluarga sekuler yang tidak terlalu memikirkan kehidupan spritual.

Isu-isu politis pun sedikit disisipkan pada novel ini, seperti gerakan mahasiswa pada tahun 66, peristiwa Malari, Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemaasiswaan (BKK/NKK) di era orde baru.

Di dalam cerita “Melukis Langit”, pada cerita ini Nadira berperan sebagai seorang wartawan yang serba salah di era orde baru. Saat di telefon oleh Bram, Nadira mengatakan, “Saya akan membuat film tentang kehidupan wartawan.”

Pada cerita ini pun digambarkan bagaimana wartawan tidak boleh mengganggu urusan para pejabat di masa orde baru. Membuat bingung Nadira yang berpikir bahwa wartawan adalah masyarakat yang terkadang secara tidak sadar merasa moralnya berada diatas ‘masyarakat  awam’ yang mengklaim dirinya sebagai pembawa kebenaran dan bisa menyembuhkan borok dalam pemerintah dan borok masyarakat.

“Judulnya melukis langit. Ceritanya tentang bagaimana para wartawan dengan semangat mengebu-gebu meliput tentang kebanjiran di sebuah desa, tentang jatuhnya sebuah kapal terbang, tentang kudeta di Thailand dan Filipina, dan juga kasus pembebasan tanah. Tapi kita tak bisa menulis tentang borok di negeri sendiri...” (halaman 81).

Pada novel ini cenderung membahas problematika sosial dengan bahasa yang ringan dan gambaran cerita yang lebih realistis. Isu-isu keluaga, feminisme, psikologi, romantik dan politik yang dibahas pun terasa dekat dengan masyarakat.

 

 

Penulis : Lulu Fitriani Fadillah

Editor : Michael Frans Hermanias & Arfan Muhammad N.