![]() |
Ilustrasi seorang yang terjebak hubungan
toksik. (Sumber: Unair) |
www.sinergispress.com - Dalam kehidupan,
setiap orang mempunyai hubungannya masing-masing sesuai dengan peran yang
dimilikinya. Hubungan di sini bisa dengan pacar, teman, rekan kerja, atau
keluarga.
Setiap proses yang dimiliki dalam suatu hubungan
tidak akan selalu berjalan dengan mulus dan baik-baik saja, akan ada
permasalahan dan rintangan yang terjadi. Misalnya, dalam suatu hubungan tidak
akan selalu sepaham, adakalanya beda paham juga, yang kadang bisa menyebabkan
perselisihan.
Menurut saya, jika ada permasalahan yang terjadi
dalam suatu hubungan, itu adalah hal yang wajar. Tetapi yang menjadi keresahan
dan menimbulkan pertanyaan dalam benak saya, “Ketika dalam suatu hubungan
seringkali terjadi permasalahan, bahkan permasalahan kecil yang
dibesar-besarkan dan terus berulang. Apakah itu normal?”
Seringkali saya menjadi tempat curhat teman-teman
saya, dari menceritakan mengenai permasalahan dengan pacar sampai
teman-temannya. Cerita dari permasalahan yang disampaikan tidak jauh berbeda.
Mereka kerap kali menceritakan hubungan dengan pacarnya, yang mana mereka
merasa ruang geraknya dibatasi, seperti tidak boleh berinteraksi dengan lawan
jenis. Begitu pula dengan permasalahan yang terjadi dalam hubungan pertemanan,
temannya merasa cemburu karena dia dekat dengan temannya yang lain.
Hal tersebut menurut saya dapat dikatakan ruang
gerak dan kebebasan yang terbatas dalam hubungan, sehingga mempengaruhi rasa
kepercayaan yang diberikan. Tidak adanya keseimbangan memberikan kesempatan
untuk saling mendukung aktivitas yang dijalankan.
Hal di atas termasuk ke dalam toxic
relationship (hubungan toksik), yang sekarang sering dibicarakan oleh
berbagai kalangan, baik di dunia nyata atau dunia maya. Artikel dari Detik
berjudul Kenali Apa Itu Relationship, Tanda Hubungan Tidak Sehat
Menurut Psikolog disebutkan
bahwa hubungan toksik merupakan suatu hubungan relasi yang tidak sehat, di mana
relasi bukan lagi media yang membuat seseorang bertumbuh, tapi justru membuat
kita merasa terkekang, lelah, tidak berharga, dan tersakiti secara
berulang. Ketika permasalahan yang terus berulang-ulang terjadi dan
tidak menemukan penyelesaian dengan baik, akan menyebabkan rasa lelah dan
bosan.
Lebih jelas mengenai hubungan toksik, begitu banyak
contoh kasus yang kerap sering dirasakan oleh banyak orang, termasuk diri saya
sendiri. Hubungan toksik berciri beberapa hal, misalnya ketika seseorang
merasakan cemburu secara terus-menerus karena berinteraksi dengan lawan jenis
dan reaksi berlebihan yang ditimbulkannya.
Reaksi berlebihan tersebut misalnya: kita
tidak diperbolehkan berteman dengan siapa pun atau ketika ada permasalahan yang
terjadi kerap kali terus menyalahkan, lebih mementingkan diri sendiri, bersikap
merendahkan, kerap kali melontarkan komentar negatif, dan mempunyai perilaku
manipulatif (mengontrol berlebihan bagaimana kamu bersikap, cara berpakaian,
harus selalu izin ketika akan melakukan apapun).
Hal di atas merupakan ciri-ciri hubungan yang
beracun. Diri saya ataupun yang lainnya mungkin pernah mengalaminya dan tidak
menyadari bahwa itu merupakan hubungan toksik.
Kadang ada beberapa pembelaan atau alasan untuk
bertahan ketika berada dalam hubungan toksik, mungkin sudah merasa terlanjur
berhubungan dengan orang tersebut, mungkin juga masih kebingungan bagaimana
keluar dari hubungan tersebut. Itu dapat diwajarkan, karena ketika
kita sudah terjebak dalam hubungan toksik pasti akan cukup sulit untuk keluar
dari hubungan tersebut.
Dilansir dari artikel di Pijar
Psikologi berjudul Toxic Relationship: Ketika Sebuah Hubungan Tidak Lagi
Menghubungkan, bahwa seseorang
yang terjebak dalam toxic relationship dapat menyebabkan
terjadinya konflik batin dalam diri. Konflik batin ini akan mengarah pada
amarah, depresi, dan kecemasan. Hubungan toksik menyebabkan mereka yang terlibat di dalamnya kesulitan
untuk hidup produktif dan sehat.
Harus ada keberanian yang ada
dalam diri kita agar bisa keluar dari hubungan yang tidak sehat. Karena, kita
berhak untuk mengakhiri sesuatu hal yang tidak membuat diri kita nyaman, membuat
tidak bebas untuk mengekspresikan apa yang
dirasakan dan apa yang telah kita lakukan, juga kita berhak mengakhiri apapun
yang menjadi pilihan kita dengan tidak adanya paksaan dari siapa pun.
Kita berhak juga untuk
mendapatkan hal yang lebih baik, hubungan yang lebih sehat untuk kebaikan diri
dan kehidupan kita. Seperti dalam artikel di Greatmind berjudul On Marissa’s Mind: Toxic Relationship yang dikatakan hubungan sehat di sini adalah
ketika orang-orang dalam hubungan itu punya nilai-nilai dasar atau tujuan hidup
yang mirip atau sama, saling menghormati, saling percaya, mendorong
satu sama lain untuk berkembang menjadi versi terbaik bagi masing-masing. Semua
dilakukan tanpa paksaan.
Suatu hubungan sehat adalah hubungan ketika
orang-orang di dalamnya punya harapan yang realistis satu sama lain dan punya
kontribusi yang seimbang dalam hubungan. Mereka bisa menikmati waktu ketika
bersama dan ketika sendiri. Meski berpasangan, masing-masing masih memegang
identitasnya sendiri.
Menurut filsuf modern Alain de
Botton ada tiga elemen penting dalam hubungan yang
memuaskan: kindness (kebaikan hati), vulnerability (kejujuran dan keterbukaan meski berpotensi
mengundang kritikan), dan understanding (pengertian).
Semua orang pasti menginginkan
hubungan yang sehat. Ketika sudah tahu dan sadar kita ternyata pernah mengalami
hubungan yang toksik, sehingga perlu kita
ingat bahwa dalam suatu hubungan ketika kita lebih banyak merasakan
ketertekanan dalam menjalaninya, itu merupakan sebuah hubungan yang tidak
sehat, dan ketika segala cara untuk menyelesaikan permasalahan dari hubungan
yang tidak sehat serta tidak ada perubahan apapun, sudah saatnya kamu keluar
dari hubungan tersebut.
Penulis: Maryati
Editor: Tri Asep Tumbara
0 Komentar