Di balik layar Film Parasite (Sumber : www.hansinema.net)

www.sinergispress.com - Masih ingat dengan film Parasite? yaitu film besutan sutradara Bong Joo Hoo yang dirilis pertama kali pada tahun 2019 dan berhasil mendapat penghargaan Piala Oscar untuk Film Terbaik pada Academy Awards 2020. Bahkan film Parasite ini mencatat sejarah sebagai film berbahasa asing pertama yang memenangkan penghargaan sebagai film terbaik di ajang Piala Oscars 2020. Film Parasite ini menggambarkan realitas konflik kelas yang terjadi di sekitar masyarakat yang dikemas dengan komedi satir. 

Selain film Parasite, baru-baru ini muncul serial survival game asal Korea Selatan yang mencapai kesuksesan dengan menduduki serial yang paling banyak di tonton seluruh dunia. Serial tersebut berjudul Squid Game, Squid Game menampilkan pahitnya realitas kehidupan yang terjadi di Korea Selatan. Squid Game bukanlah satu-satunya serial survival game, tetapi yang membandingkan Squid game dari serial lain adalah sisi lain dari cerita yang menggambarkan realitas sebenarnya dalam kehidupan. Seperti kesenjangan kelas, sistem patriarki, konflik keluarga dan rumah tangga sehingga penonton lebih terhubung dalam serial ini.
 
Kesuksesan Film dan serial asal Korea Selatan ini menunjukkan bangkitnya eksistensi dunia perfilman Korea Selatan. Dari hal tersebut munculah berbagai pertanyaan apa yang membuat industri perfilman Korea Selatan bisa sukses dan menjadi sorot perhatian dunia. Bahkan sebelumnya public Hollywood sebagai kiblat industri perfilman sama sekali tidak memandang film dengan penggunaan subtitle atau film berbahasa asing. 

Faktor penting kesuksesan perfilman Korea Selatan adalah dukungan dari Pemerintah. Pada tahun 1992 saat pemerintahan Presiden Kim Yong Sam mengambil kebijakan penyebaran budaya Korea Selatan ke luar negeri, hal ini bermaksud menjadikan budaya Korea selatan sebagai langkah diplomasi, yang kemudian menggunakan sektor budaya yang dianggap berpotensi dalam memperkuat pengaruh Korea Selatan di pasar internasional, selain hal itu kebijakan ini diambil guna mengantisipasi serangan budaya asing beserta produk asing yang masuk ke dalam negeri serta pemerintah Korea Selatan ingin masyarakatnya lebih mencintai budayanya sendiri serta produk dalam negeri daripada harus memilih produk asing. Hal ini didukung pasca krisis finansial pada 1977 di Korea Selatan yang menyebabkan bangkrutnya beberapa konglomerat. Bermunculan berbagai gerakan-gerakan pemersatu Korea Selatan, salah satunya adalah pemboikotan film Hollywood dan kampanye menonton film Korea oleh para Sineas.

Dalam jurnal yang berjudul Cinema as a Window on Contemporary Korea yang ditulis oleh Tom Vick menjelaskan bahwa saat Korea Selatan dipimpin oleh Presiden Kim Yong Sam industri film Korea mengalami kebangkitan dalam popularitas dan kualitas artistik, Pembuat film dibebaskan dari sensor ketat selama beberapa dekade yang mencegah mereka secara langsung mengangkat isu-isu penting. Karena sebelumnya pada masa pemerintahan otoriter rezim Park Jung-Hee (1963-1979) an rezim Chun Do-Hwan (1980-1988) film Korea apapun yang mengangkat tema politik dan menunjukkan situasi sosial yang brutal dilarang untuk diproduksi dan diputar. 

Selain itu dibebaskan sensor ketat atas isu-isu tabu memberikan banyak keuntungan kepada para Sineas untuk kebebasan berekspresi untuk mengambil topik yang dulu dilarang. Seperti dalam film A Petal (1996) mengisahkan Jang Sun-woo, yang pernah dipenjarakan karena aktivitas politiknya, berbicara tentang Pembantaian Kwangju pada 18 Mei 1980 di mana militer secara brutal menekan pemberontakan pro-demokratisasi, lalu dalam film A Single Spark (1995) yang mengisahkan pekerja garmen yang dieksploitasi lalu dalam film Sopyonje karya Im Kwon-taek, sebuah film tahun 1992 tentang keluarga penyanyi keliling, menciptakan kesadaran baru dan kebanggaan budaya tradisi mendongeng melalui lagu dan penampilan sebagai orang Korea yang unik sebagai bentuk ekspresi seni. Film tersebut sukses dalam media nasional dan membuka diskusi tentang apakah Korea telah kehilangan kontak akar budaya mereka akibat konflik dan perpecahan yang ditanggung oleh Korea selama beberapa tahun. 

Selain kebebasan ekspresi dari para Sineas, pada pertengahan tahun 1990-an Para Konglomerat memberikan dukungan terhadap perfilman Korea Selatan dalam bentuk penanaman modal atau investasi. Hal itu mengubah persepsi tentang sinema yang merupakan kesenian marjinal menjadi industri yang menguntungkan. Selain pendanaan yang stabil dari investor dibentuknya Korean Film Council sebagai pergerakan demokratis guna mengembangkan perfilman negara dengan membentuk ulang industri melalui kebijakan film yang lebih progresif dan liberal. Dukungan dari berbagai pihak tersebut menciptakan satu kesatuan yang harmoni, para Aktor dan Aktris yang mumpuni pun berasal dari proses seleksi yang ketat, didukung dengan banyaknya sekolah-sekolah perfilman dan kesenian di Korea Selatan. Walaupun tidak memungkiri terkadang trik menempatkan bintang film besar untuk menarik perhatian itu juga menjadi keuntungan industri perfilman, namun sejumlah kritikus film juga mengkhawatirkan hal tersebut akan membuat penonton lebih fokus terhadap pemeran dibandingkan cerita filmnya.

Selain faktor pendukung di atas, Darcy Paquet yang juga menjabat sebagai konsultan program Udine Far East Film Festival mengatakan ciri khas dari Film Korea karena pendekatan emosional pada setiap adegan yang intens kepada penonton. 



Penulis : Lulu Fitriani Fadillah
Editor : Luqyana Pajri Alamsyah