Memilih untuk tidak mengenalkan seks malah itulah yang lebih berbahaya. |
www.sinergispress.com - Pendidikan seks merupakan edukasi mengenal, merawat, menjaga dan menghargai tubuh kita (alat reproduksi) dengan tujuan untuk mengedukasi pentingnya kesehatan reproduksi sehingga Penyakit Menular Seksual (PMS) dan kekerasan seksual dapat dicegah.
Pendidikan seks akan membekali diri dengan sikap dan nilai-nilai yang akan memberdayakan kita untuk mewujudkan kesehatan, kesejahteraan dan martabat. Mengembangkan hubungan sosial dan seksual yang saling menghormati dan memahami serta memastikan perlindungan hak-hak kita sepanjang hidup.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Seks adalah jenis kelamin, perbedaan badani atau biologis perempuan dan laki-laki. Namun, stigmatisasi masyarakat terhadap seks selalu perihal kegiatan seksual, sehingga masyarakat pun enggan untuk mengenalkan pendidikan seks terutama kepada anak-anak. Hal tersebut ditakutkan hanya akan membuat anak-anak dan remaja malah melakukan seks bebas. Padahal memilih untuk tidak mengenalkan seks itu lebih berbahaya.
Dampak yang terjadi dari minimnya pendidikan seksual yaitu terjadinya kekerasan seksual. Dilansir dari sumber jurnalperempuan.org merujuk pada Catatan Tahunan (CATAHU) 2020, sepanjang tahun 2019 tercatat ada 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terdiri dari 421.752 kasus yang ditangani Pengadilan Agama, 14.719 kasus yang ditangani lembaga mitra pengada layanan di Indonesia, dan 1.419 kasus dari Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR) Komnas Perempuan.
Lalu, dampak lainnya yaitu tingginya tingkat penularan Penyakit Menular Seksual (PMS) seperti HIV/AIDS. Data terakhir sampai Maret 2021, seperti dilaporkan oleh Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (Ditjen P2P) Kementrian Kesehatan RI, tanggal 25 Mei 2021, menunjukkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Indonesia sebanyak 558.618 yang terdiri atas 427.201 HIV dan 131.417 AIDS.
Peran orang tua dalam mengajari anaknya tentang pendidikan seks itu dapat dikatakan sangat penting karena orang tua adalah orang pertama serta orang yang paling dekat dengan anak untuk mengajari tentang pendidikan seks sejak dari dini. Namun mengapa pendidikan seks di Indonesia masih dianggap tabu dan tidak dipelajari secara luas?
Hasil survey yang dilakukan oleh femina.co.id terhadap 116 responden tentang “Pentingkah Pendidikan Seks dan Gender?” menyatakan bahwa hanya 3% responden mengetahui tentang seks dari orang tua, sedangkan 41% menjawab mereka tahu tentang informasi seks dari internet. Survey lainnya menunjukan mereka mendapat informasi tentang seks dari sekolah 21% dan teman 35%.
Data survey tersebut menunjukkan bahwa peran orang tua cukup minim dalam mengajarkan pendidikan seks kepada anaknya. Begitupun dengan sekolah, apakah ini menunjukkan bahwa pendidikan seks yang diajarkan kepada anak-anak di sekolah hasilnya sangat tidak menyeluruh? Bukan hanya itu, 116 responden dengan hasil polling 93% menyetujui bahwa Pendidikan Seks dan Gender penting diajarkan untuk anak-anak, baik di sekolah, maupun di keluarga.
Di Indonesia, sebagian diajarkan tentang pendidikan seks, namun yang diajarkan hanya perihal sperma dapat membuahi sel telur atau beberapa hal yang terjadi saat remaja mengalami masa baligh (Pubertas). Di sekolah dalam pelajaran Pendidikan Jasmani atau Pendidikan Biologi, kita tidak diajarkan dan tidak dijelaskan secara rinci mengapa kita tidak boleh disentuh orang lain atau kenapa kita tidak boleh berhubungan intim sebelum menikah. Lebih jauh persoalan kenapa kita perlu menghormati hak orang lain terhadap tubuhnya sendiri pun tidak pernah diajarkan.
Perasaan tabu menyelimuti beberapa orang ketika membicarakan tentang pendidikan seks, dikarenakan pendidikan seks sendiri tidak dipelajari dengan luas maupun rinci, alasannya banyak yang mengira bahwa pendidikan seks itu hanya sekedar itu-itu saja.
Di samping hal tabu terkadang agama pun menjadi sebuah alasan mengapa orang tua tidak ikut serta dalam membimbing atau memberikan pengetahuan tentang pendidikan seks kepada anak-anaknya, itulah alasan kenapa pendidikan seks menjadi tabu untuk dibicarakan. Maka dari itu pendidikan seks sangat diperlukan untuk dipelajari lebih mendasar agar dapat merubah pola pikir masyarakat terhadap pendidikan seks.
Sebetulnya, pendidikan seks itu luas bukan perihal itu-itu saja. Salah satu yang bisa kita pelajari dari pendidikan seks yakni tentang stigmatisasi masyarakat terhadap keperawanan. Bagi sebagian orang keperawanan ditandai oleh keutuhan selaput dara (hymen) dan sebagian yang lain mengartikan keperawanan sebagai glorifikasi yang harus dijaga sampai akhirnya hymen rusak karena penetrasi penis. Padahal tak semua perempuan lahir memiliki selaput dara. Ada yang dilahirkan tanpa hymen, ada pula yang memiliki hymen sangat tipis, sehingga mudah robek karena aktivitas ringan. Sebab ada juga yang mempunyai hymen yang elastis dan tebal, sehingga walaupun telah berkali-kali penetrasi bentuknya tetap saja utuh.
Dilansir dari tirto.id pada laman Physician for Human Rights (PHS), organisasi yang melakukan advokasi kesehatan pada pekerja, menyatakan tidak ada korelasi antara selaput dara dengan keperawanan. Fakta ilmiah dan dasar medis menolak menggunakan ukuran selaput dara, morfologi, atau integritas untuk menentukan penetrasi vagina pada seorang perempuan. Dari ketidakpahaman pendidikan seks inilah sudah berapa banyak perempuan yang harus direndahkan hanya perihal keperawanan?
Hal lain yang dapat kita pelajari dari Pendidikan Seks juga yaitu mengajarkan kita bagaimana bisa menghargai orang lain terhadap otoritas tubuhnya sendiri dan pandangan masyarakat terhadap kesusilaan seseorang.
Contohnya dalam pandangan beberapa masyarakat bahwa orang yang sudah tidak perawan atau perjaka mencerminkan kepribadian seseorang tersebut buruk. Hal itu keliru karena jika kita belajar tentang Pendidikan Seks secara luas yang mana status kesusilaan itu tidak dapat diukur dari masih atau tidaknya seseorang perawan/perjaka.
Lalu bagaimana kita bisa merubah stigma tersebut? Kita perlu mempelajari Pendidikan Seks secara luas agar kita bisa saling menghormati, menghindari penyakit seksual menular, seks bebas, merasa aman nyaman atas otoritas tubuh kita sendiri dan paham tentang Pendidikan Seks itu sendiri.
Penulis: Aldi Pramudiya & Elsa Nur Sabela
Editor: Arfan Muhammad Nugraha
0 Komentar