Cover Depan Demi Keset dan Rapet karya Angela Frenzia Betyarini

 

 

Judul               : Demi Keset dan Rapet

Penulis             : Angela Frenzia Betyarini

Penerbit           : Buku Mojok Group

Tebal               : 176 Halaman; 13 x 19 cm

Cetakan           : Pertama, Juni 2021

ISBN               : 978-623-96940-3-6

 

 

Buku ini cukup menarik untuk didiskusikan, banyak hal yang dapat kita pelajari dan harus disadari sebagai perempuan. Buku ini memberitahu mengenai kuasa perempuan terhadap tubuh mereka sendiri. Melihat dari Sub judulnya sebagian orang akan merasa malu dan menganggap hal tersebut tabu untuk dibaca, hanya karena dilihat dari kata “Vagina” saja.

 

Sebelum menyampaikan banyak hal, penulis dari buku ini adalah Angela Frenzia Betyarini. Ia merupakan alumni Magister program studi Kajian Budaya dan Media Universitas Gadjah Mada, yang memiliki perhatian lebih pada isu-isu kekerasan seksual. Angela juga dikenal aktif menjadi pembicara kajian gender dan seksualitas di berbagai lembaga dan seorang relawan Women’s March Yogyakarta dan Bali.

 

Angela menjelaskan berbagai hal mengenai vagina dalam ilmu kedokteran serta menjelaskan korelasi budaya patriarki tehadap urusan “vagina” dan otoritas perempuan terhadap tubuhnya.

 

Salah satu hal yang disinggung Angela yaitu program bernama Keluarga Berencana (KB). KB mengharuskan perempuan menggunakan alat-alat kontrasepsi seperti pil, IUD (Spiral) dan sterilisasi. Dengan ini pemerintah memiliki harapan besar kepada perempuan untuk menurunkan populasi.

 

Hal lain yang dijelaskan oleh Angela yaitu sebuah fenomena bernama Female Genital Mutilation (FGM) atau sering kita dengar sunat vagina. FGM merupakan tindakan menghilangkan bagian permukaan klitoris dengan atau tanpa diikuti pengangkatan sebagian atau seluruh klitoris. Praktik ini dilakukan di hampir 28 negara, termasuk Indonesia.

 

Menurut buku ini, di Indonesia tradisi sunat vagina ditemukan di suku Bugis. Selain bertujuan melestarikan kelangsungan identitas budaya, perempuan yang disunat akan kehilangan hasrat seksual pada masa puber sehingga dapat mengontrol perilaku seksualnya. Tidak hanya itu sunat vagina disebut dapat memberi kenikmatan bagi suaminya kelak saat melakukan hubungan seksual. Mereka akan percaya bahwa dengan memberikan kenikmatan kepada laki-laki, perempuan akan lebih dicintai.

 

Hal lain yang dibahas oleh penulis yaitu mengenai rejuvenasi vagina. Rejuvenasi atau peremajaan vagina adalah upaya mengubah bentuk maupun fungsi vagina agar tampak “ideal” melalui serangkaian tindakan kedokteran modern.

 

Dijelaskan menurut Pengurus Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) Surabaya, Dr. Hardiyanto SpOG(K) menyebut rejuvenasi vagina seperti hymenoplasty atau rekontruksi selaput dara. Pada umumnya perempuan melakukan rejuvenasi vagina karena memiliki keperluan seperti pengembalian selaput dara, pengembalian posisi rahim yang mengalami penuruan dan operasi pengencangan vagina.

 

Kesimpulan berdasarkan pemahaman saya yaitu, bahwa masyarakat, adat dan negara dengan lincah mengurusi vagina perempuan. Bahkan ilmu kedokteran pun berlomba mencari penemuan baru yang lebih modern untuk merekontruksi vagina agar terlihat “ideal”.  Ini bukan hanya membatasi seksualitas perempuan bahkan ini sudah menjadi sebuah penindasan. Perempuan hanya didefiniskan untuk menyenangkan laki-laki. Dan ketika hal itu bisa dilakukan oleh perempuan, maka baru bisalah perempuan itu diterima di masyarakat.

 

Salah satu penggalan dalam buku ini, menurut Catharine A. MacKinnon.

 

Perempuan diyakinkan bahwa dirinya akan berharga bagi masyarakat apabila memiliki nilai-nilai “feminim” dalam dirinya. Tentu seksualitas perempuan dipaksa jadi sekadar objek karena patriarkal mengatur dan menentukan perempuan untuk mengutamakan kesenangan laki-laki. (Halaman 20)

 

Namun bagi saya, buku karya Angela Frenzia Betyarini ini menegaskan bahwa perempuan harus mempercayai ketidakberdayaan dan sifat pasif perempuan tidak disebabkan kondisi biologis tetapi konstruksi sosial. Perempuan harus menyadari bahwa dirinya memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki. Perempuan memiliki kreativitas dan hasrat untuk memberdayakan diri melalui tindakan, juga pikiran.

 

Perempuan harus sadar bahwa perempuan hanya diberi pilihan-pilihan sangat terbatas. Negaralah yang membangun kontruksi peran perempuan, bahkan pengarahan atau kontrol terhadap tubuh dan seksualitas perempuan. Hal ini dilakukan negara melalui wacana, kebijakan dan program-program yang diberlakukan di masyarakat, contohnya dalam konteks program KB.

 

Dalam konteks rejuvenasi vagina, hal itu juga dapat dilihat sebagai salah satu cara patriarki mematuhkan seksualitas perempuan. Rejuvenasi vagina terjadi karena perempuan merasa vaginanya kurang “ideal.” Artinya ada sebuah standar vagina “ideal” yang ditetapkan masyarakat.

 

Penulis menegaskan bahwa perempuan pemilik vagina sesungguhnya. Perempuan memiliki hak atas otoritas tubuhnya, perempuan berhak mengekspresikan dirinya sendiri dalam tindakan, seksualitas hingga tampilan. Maka masyarakat, adat dan negara tidak berhak mengaturnya karena perempuan bukan pelayan yang royal, tidak bertanggung jawab atas keturunan, tidak “melulu” mengelola rumah tangga dan  tidak harus ber-”vagina” kesat dan rapat.

 

Kutipan yang paling menarik dalam buku ini yaitu ada pada bagian empat halaman 77.

 

Vagina, jika bisa menyuarakan hak-haknya, akan menjadi suara yang paling lantang. Ia bukan sekadar lubang! Ia adalah untaian kompleks yang sangat berdaya bila merdeka dari segala ketimpangan.

 

Penulis :          Elsa Nur Sabela

 

Editor   :          Luqyana Pajri Alamsyah