Sikap Sinergis terhadap Permendikbud No 30 Tahun 2021
Ilustrasi untuk menghentikan kekerasan seksual. Sumber : Line Today.
www.sinergispress.com - Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbud-Ristek) mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasaan Seksual di Perguruan Tinggi. Kemdikbud-Ristek, Nadiem Makarim, mengatakan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi sudah masuk dalam kategori darurat. Hal tersebut terlihat dari sejumlah data tentang kekerasan seksual di kampus.
Pertama, aduan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan yang menyebut sebanyak 27% kekerasan seksual terjadi di pendidikan tinggi sepanjang 2015-2020. Kedua, survei Kemendikbud Ristek yang menunjukkan 77% dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di Kampus dan 63% di antaranya tidak melaporkan kasus yang diketahui tersebut kepada kampus.
Banyak sekali kasus kekerasan seksual di Perguruan tinggi yang tak pernah jelas alur penyelesaiannya. Korban yang rentan sering kali tidak mendapatkan pelayanan aduan yang layak. Bahkan korban kerap mengalami kriminalisasi atas tuduhan pencemaran nama baik.
“Korban kekerasan seksual justru dikriminalisasi. Korban mendapatkan tuduhan lain atas dugaan pencemaran nama baik atau lainnya,” kata Maria Ulfah Anshor, saat menjadi narasumber webinar nasional “Pro Kontra Permendikbud Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi” yang disiarkan secara langsung di kanal YouTube FS UIN KHAS Jember.
Defirentia One Muharommah, Direktur Rifka Annisa Women's Crisis Center, mengatakan perempuan memang sangat rentan menjadi korban dalam relasi kuasa timpang. Ia mencontohkan kasus Baiq Nuril di tahun 2018, yang justru terjerat pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Ketika korban mencoba bersuara, tidak hanya disalahkan tetapi juga dianggap apa yang terjadi atas dasar suka sama suka.
Selain itu masih ingat dengan kasus Agni, yaitu kasus kekerasan seksual yang menimpa Mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada pada tahun 2018. Agni yaitu nama samaran penyintas, memperjuangkan keadilan kasusnya lebih dari satu tahun lamanya dengan kondisi trauma dan depresi karena selama pelaporan Agni mengalami Intimidasi, terror, pengasingan bahkan perundungan.
Dari beberapa contoh kasus menyebabkan banyak sekali korban kekerasan seksual lebih memilih untuk diam bahkan bercerita kepada teman atau kerabat terdekat pun terasa enggan karena takut dipersalahkan. Karena masyarakat masih menganggap kekerasan seksual bukan sebagai bentuk kejahatan kemanusiaan tetapi sebagai konsekuensi masalah moral korban. Masyarakat akan membandingkan dan menuduh korban dengan nilai moral yang dianutnya seperti perempuan tidak boleh berpakaian terbuka, tidak seharusnya keluar malam, dan harus menjaga keperawanan. Selain itu pihak ketiga dalam masalah ini yaitu kampus tidak begitu serius untuk mendampingi korban. Bahkan kerap kali kampus akan menutup diri atas kasus kekerasan seksual demi menjaga citra dan nama baik institusi.
Permendikbud No.30 Tahun 2021 ini menjadi jawaban atas masalah kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus, fokus dari permendikbud ini untuk melindungi korban, akses aman korban untuk melapor dan menciptakan lingkungan perguruan tinggi yang aman dari Kekerasan seksual.
Beberapa poin dari Permendikbud No.30 tahun 2021 yang akan mencegah kasus kekerasan seksual dan penanganan kasus kekerasan seksual diantaranya yaitu:
1. Mencegah ujaran berbau mesum di kampus yang dilakukan civitas akademika. (pasal 5 ayat 2 bagian a).
2. Mencegah pendidik atau pejabat tinggi kampus menyalahgunakan kekuasaan untuk keuntungan seksual pribadi. (pasal 5 ayat 2 bagian j).
3. Mencegah pendidik atau tenaga pendidik menyalahgunakan kewenangannya untuk melakukan "bimbingan" di luar kampus atau di luar jam kerja. (pasal 7 ayat 1 bagian a).
4. Perlindungan korban akan lebih diutamakan karena pembuktian kasus kekerasan seksual itu sulit. Hal ini dapat melindungi korban dari tuduhan balik pelaku.
5. Memudahkan korban kekerasan seksual melapor dengan membuat sistem pelaporan yang mudah dan tidak berbelit-belit. Maka dari itu adanya satuan tugas (satgas) independen di setiap universitas untuk menanggapi pelaporan tersebut. (tercantum dalam pasal 39 ayat 1 dan 2).
6. Pada pasal 19 Kemendikbud-Ristek akan memberi sanksi berupa penghentian bantuan keuangan atau sarana prasarana kepada kampus yang tidak menanggapi pelaporan kekerasan seksual.
7. Selebihnya dapat dibaca di link Salinan Permendikbud nomor 30.
Selain itu penanganan kasus kekerasan seksual dalam Permendikbud No.30 tahun 2021 antara lain yaitu:
1. Adanya pendampingan konseling, layanan kesehatan, bantuan hukum, advokasi, bimbingan sosial dan rohani.
2. Perlindungan jaminan keberlanjutan pendidikan atau pekerjaan, penyediaan rumah aman, korban dan saksi bebas dari ancaman yang berkaitan dengan kesaksian yang diberikan.
3. Pengenaan sanksi administrasi yaitu Ringan, sedang dan berat juga tidak mengesampingkan peraturan lain.
4. Pemulihan korban dengan cara:
- Melibatkan psikolog, tenaga medis, dan pemuka agama.
- Organisasi pendamping korban.
- Tidak mengurangi hak pembelajaran atau hak kepegawaian korban.
Tetapi peraturan yang fokus untuk mencegah kasus kekerasan seksual dan penanganan tentang kasus kekerasan seksual ini menjadi kontroversial karena dianggap melegalkan seks bebas. Padahal tidak ada pasal yang berbunyi ”Boleh melakukan seks bebas” dalam permendikbud ini. Bunyi yang menjadi kontroversial adalah kalimat “melarang aktivitas seksual tanpa persetujuan (consent)”. Bukan berarti peraturan ini melegalkan aktivitas seksual dengan bebas asal adanya persetujuan.
Bahkan dalam Permendikbud No.30 ini kata Persetujuan belum tentu membuat pelaku bebas dari tuntutan hukum, karena pelaku dapat mengancam, memaksa korban untuk menyetujui aktivitas seksual tersebut maka kata persetujuan tidak berlaku dalam kasus ini.
Aturan yang melarang seks bebas sudah ada di pasal 284 KUHP. Pada pasal tersebut, pelaku seks bebas diancam hukuman maksimal 9 bulan penjara. Meskipun penerapan pasal ini masih terbatas pada pelaku yang sudah menikah. Belum ada aturan negara tentang larangan seks bebas untuk pelaku yang belum menikah. Sementara hanya diatur oleh aturan agama dan moral. Selain kontroversial anggapan melegalkan seks bebas, Permendikbud No.30 ini telah membuat laporan kasus pelecehan seksual di perguruan tinggi meningkat dan membuktikan bahwa peraturan ini menjadi perlindungan untuk korban kekerasan seksual.
Sebagai penutup, kami Lembaga Pers Mahasiswa Sinergis Universitas Kuningan menyatakan sikap mendukung adanya Permendikbud No.30 Tahun 2021 untuk memberikan jaminan perlindungan serta menciptakan ruang aman bagi seluruh civitas akademika. Karena dalam Undang-undang No 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia pada pasal 30 yang menyatakan bahwa, “Setiap orang berhak atas rasa aman dan tentram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.”
Penulis: LPM Sinergis
Editor: LPM Sinergis
0 Komentar