(Sumber : pixabay.com)


www.sinergispress.com - Akhir-akhir ini kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) banyak kita jumpai di lingkungan keluarga dan ramai dibicarakan oleh masyarakat pada tahun 2022 hingga sekarang. Kasus ini merupakan suatu tindakan yang melanggar hukum, sebagaimana diatur dalam Undang-undang nomor 23 tahun 2004.


Kekerasan dalam rumah tangga merupakan kekerasan berbasis gender yang terjadi di ranah personal. Tindakan ini tidak mengacu pada kekerasan fisik saja, tetapi dapat berupa kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan juga kekerasan penelantaran rumah tangga. Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), hingga Oktober 2022 sudah ada 18.261 kasus KDRT di seluruh Indonesia dan sebanyak 16.745 (79,5%) korbannya perempuan.


Selain itu, data KemenPPPA menunjukan bahwa KDRT juga dialami oleh laki-laki, sebanyak 2.948 korban. Jadi, laki-laki dan perempuan tidak dapat dimungkiri memiliki risiko menjadi korban KDRT. Tak hanya itu, jika ayah menganiaya istrinya maka kemungkinan anak juga menjadi korban KDRT. Sebagaimana Komnas Perempuan pada Januari hingga November 2022 telah menerima 3.014 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan, termasuk 860 kasus kekerasan seksual di ranah publik atau komunitas dan 899 kasus di ranah personal.


Melihat data tersebut miris, bahwa korban terbanyak dari kasus KDRT merupakan perempuan. Kasus ini berkaitan dengan isu kesehatan mental, sebagaimana kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, menjadi hal yang harus diperhatikan, karena dapat menimbulkan dampak buruk bagi mental seseorang, terutama pada perempuan. 


Perempuan cenderung banyak mengalami tindak kekerasan dibanding laki-laki, karena biasanya KDRT disebabkan oleh berbagai faktor, seperti perbedaan pendapat, patriarki, ekonomi, cemburu, perselingkuhan dan lain sebagainya. Perselingkuhan menjadi faktor utama terjadinya KDRT, tak heran jika kasus ini selalu hangat dibicarakan publik. 


KDRT memungkinkan seseorang mengalami trauma, bukan hanya pada istri, tetapi juga anak. Kita dapat mengambil contoh kasus perselingkuhan, perselingkuhan ini dapat memicu pertengkaran, sehingga perceraian menjadi jalan terakhir yang ditempuh kedua orang tua dan hal ini berdampak pada mental seorang anak dan menjadikan dirinya broken home.


Tidak sedikit pula para korban memilih bertahan dengan alasan, jika berpisah nantinya akan berdampak buruk pada anak. Padahal jika memang mau berpisah pun tidak masalah, asalkan kedua orang tuanya wajib berkomitmen memberikan kebutuhan anak. Namun, jika bertahan pun kedua orang tua harus mengubah perilakunya, karena orang tua merupakan sekolah pertama anak, penting bagi kedua orang tua memberikan contoh yang baik kepada anaknya. Akan tetapi, keputusan tersebut kembali ke diri masing-masing, karena keputusan yang akan diambil merupakan hak mereka. 


Tidak ada yang mau menjadi korban KDRT,  ini menjadi tolak ukur seseorang yang sudah atau mau berumah tangga. Bahwa sebelum melakukan tindakan terlalu jauh ada baiknya dipikirkan terlebih dahulu, jika terbawa emosi lebih baik menghindari pembicaraan dan membiarkan emosi itu reda. Setelah emosi reda, kemudian bicarakan apa yang menjadi permasalahannya. Itulah mengapa komunikasi menjadi sangat penting dalam berumah tangga, dan tidak hanya itu komunikasi bahkan menjadi suatu kebutuhan manusia dalam bersosialisasi.


Fenomena tindak kekerasan terhadap perempuan begitu besar kasusnya, sehingga penanganan dan pelayanan terhadap korban patut mendapat dukungan yang lebih, serta menghukum para pelaku dengan balasan yang setimpal, karena kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu permasalahan yang kaitannya erat dengan perempuan, dan dapat menimbulkan terganggunya mental seorang perempuan.


Penulis : Indah Ayu Komalasari

Editor : Hana Salsa Julia Putri