(Sumber : pixabay.com)


www.sinergispress.com - Dewasa ini gempuran isu-isu kerusakan lingkungan semakin menguat, menjadi penting ketika  gaya hidup mengarahkan pada cara berperilaku pada lingkungan. Kenapa penting? Sebab,  gaya hidup manusia menentukan arah pertama dalam membangun kesadaran akan cara  memperlakukan lingkungan.

Isu lingkungan tersebut sudah marak terjadi, seperti polusi yang  berlebihan, rusaknya lingkungan, menurunnya kualitas iklim mikro, hingga punahnya satwa liar yang sering dijumpai di lingkungan sekitar seperti capung, lebah madu, dan serangga  lainnya yang merupakan indikator sehatnya suatu lingkungan, serta meningkatnya suhu bumi  (1-1,5º C) dengan implikasi pada perubahan iklim. 


Gaya hidup memiliki peran dalam hal ini, jika manusia memiliki gaya hidup yang baik maka,  mereka akan menjadi pribadi yang bertanggung jawab kepada lingkungan yang ditempatinya  dan memiliki integritas tinggi. Sejatinya menghormati lingkungan sudah menjadi bagian  dari local wisdom (kearifan lokal) masyarakat Indonesia yang memiliki keeratan dengan  budaya-budayanya. 


Apabila integritas dan mindset akan gaya hidup baik, maka akan mudah untuk memajukan gaya hidup yang berkelanjutan. Gaya hidup berkelanjutan terhadap lingkungan memiliki  indikator, seperti meminimalisir jejak karbon atau emisi karbon yang dikeluarkan, serta menjaga pola hidup yang bersih. Hal ini tentunya  berkaitan dengan pemilahan sampah serta penanggulanganya. 


Sejatinya local wisdom sudah dikenal sejak abad ke-21, kaitannya cukup erat dengan  sustainable development dan sustainable lifestyle, tentang bagaimana mengelola sumber daya  alam dan cara berinteraksi kepada alam. Karena sifatnya yang sangat universal membuat gaya  hidup yang sudah dilakukan sejak zaman dahulu, dapat menguatkan argumen pentingnya  pendekatan gaya hidup berkelanjutan terhadap pendidikan terhadap azas lingkungan. 


Pendekatan sustainable living akrab dengan cara pengolahan sampah, bagaimana manusia  memilah dan mengondisikan sampah. Secara logika, konsep sampah merupakan bukan apa  yang kita buang, tetapi apa yang kita bawa masuk, sederhananya sampah bukanlah hasil  konsumsi, tetapi sesuatu yang kita bawa masuk ke dalam rumah. Misalnya sampah plastik  yang dibawa dari toko yang kerap kali disebut kantong plastik, atau alat bawaan untuk  membawa suatu barang. 


Setiap kantong plastik yang digunakan, akan menambah jumlah  sampah plastik yang ada di permukaan bumi.  Sustainable living mengajarkan  bahwa penggunaan kantong sekali pakai akan menambah jumlah sampah khususnya plastik  yang manusia buang, maka dari itu penggunaan kantong yang sesuai adalah eco bag, tote bag canvas, kantong anyaman, atau apapun yang tidak sekali pakai. 


Selain penggunaan plastik, gaya hidup yang memengaruhi isu lingkungan adalah penggunaan  kendaraan bermotor, berdasarkan data Kepolisian Republik Indonesia (Polri), jumlah  kendaraan bermotor di Indonesia mencapai 152,51 juta unit hingga 31 Desember 2022. Dari  jumlah itu, sebanyak 126,99 juta unit atau 83,27% di antaranya berupa sepeda motor. 


Berdasarkan data tersebut, angka kendaraan di Indonesia cukup tinggi, hal tersebut mengindikasikan emisi karbon  yang dihasilkan juga cukup besar.  


Gaya hidup masyarakat Indonesia memang cenderung memilih kendaraan pribadi  dibandingkan menggunakan kendaraan umum. Namun, hal tersebut bukan tanpa alasan. Seperti  yang diketahui, akses terhadap transportasi umum sangat terbatas dan tidak merata, hanya di kota-kota besar yang memiliki akses transportasi umum lebih mumpuni, seperti Jakarta,  Surabaya, Semarang, hingga Yogyakarta.  


Terlepas dari hal itu semua semenjak pandemi Covid-19, penggunaan kendaraan ramah  lingkungan seperti sepeda mulai menjadi trend di kalangan semua umur. Namun yang menjadi  paradoks  adalah ketika ada yang mengaku anti-polutan, tetapi berkontradiksi, seperti orang  yang bersepeda di suatu kawasan dan mereka membawa atau mengangkut sepeda ke  kawasan tersebut menggunakan mobil yang jelas berimisi, lalu berdalih bersepeda sebagai  implementasi menjadi pengendara ramah lingkungan. 


Kemudian seiring pulihnya keadaan dari  pandemi, trend penggunaan sepeda sebagai alat transportasi kian menghilang sehingga gaya  hidup menggunakan kendaraan bermotor kembali ramai. Namun, penggunaan kendaraan  bermotor merupakan hak setiap orang sehingga hal tersebut tidak dapat diintervensi  keberadaanya.  


Hanya saja tidak ada salahnya apabila memunculkan dan mengadvokasi mengenai behavior  tentang gaya hidup yang berkelanjutan, karena sustainability memiliki arti “Ability” to  “Sustain”, yang bermakna kekuatan untuk mengubah dan mempertahankan. Mengubah, kemudian mempertahankan menjadi langkah penting mengingat permasalahan lingkungan  sudah menjamur dan merupakan ide bagus untuk menjadi solusi, bukan sebagai polusi. 


Penguatan Pendidikan Lingkungan merupakan langkah awal dalam menjalani kehidupan  berkelanjutan, menguatkan merupakan langkah fundamental sebagai upaya mendorong gaya  hidup berkelanjutan, dalam bidang pendidikan sebagai formula bernas behavior. Penguatan tersebut harus diupayakan mampu bertahan sebagai tunas dan perintis kemampuan untuk  bergaya hidup berkelanjutan, sebagai bukti kesadaran pentingnya menjaga lingkungan seperti  yang telah dilestarikan dalam local wisdom. 


Pertama menanamkan pola pikir mencintai lingkungan kepada masyarakat, terutama kepada  generasi penerus bangsa untuk menumbuhkan mindset melestarikan sumber daya lingkungan.  Hal tersebut berkaitan dengan etika lingkungan seperti penggunaan air secukupnya,  mengurangi penggunaan plastik atau bahan sekali pakai, tidak merusak lingkungan, yang  kemudian terciptanya iklim mikro yang sehat. 


Kedua, penguatan sikap ramah lingkungan dengan implementasi meminimalisir jejak karbon  seperti penggunaan transportasi umum, penggunaan sepeda, hingga tidak berlebihan  menggunakan kendaraan bermotor. Sikap ramah lingkungan harus ditanamkan dengan tujuan  menjaga alam untuk manusia itu sendiri, karena pada dasarnya hukum yang diterapkan  memang hanya berpusat pada manusia atau antroposentris. Emisi gas yang dihasilkan tentu  berasal dari natural resources, dampaknya tentu kepada manusia itu sendiri. 


Ketiga, pendidikan lingkungan diterapkan dari semua sektor akademis, instansi pendidikan,  dan organisasi kemasyarakatan. Karena pada mulanya, environmental ethics bermula dibawa oleh Non-Government Organization atau LSM, sehingga semua sektor perlu dilakukan  advokasi, jangan sampai arogansi pembangunan menghambat  keberlanjutan etika lingkungan. 


Lalu keempat, menjalin sinergitas antara pemangku kebijakan dengan masyarakat itu sendiri,  dalam hal ini diri sendiri juga menjadi subjek serta fokus utama karena semua bermula dari  individu itu sendiri. Semua yang telah disebutkan di atas, merupakan beberapa langkah dalam  mengubah, mempertahankan, serta mewujudkan kebiasaan gaya hidup ramah lingkungan serta  berkelanjutan. Tujuannya tentu untuk merawat kehidupan, ucapaan terima kasih kepada Mother  Earth, cara bersyukur kepada Tuhan, serta melanjutkan perjuangan dalam mewujudkan SDGs  (Sustainable Development Goals) pada nomor 13 tentang Climate Action, tentang apa yang  dapat kita perbuat untuk iklim yang menaungi kehidupan.  


Tanpa usaha yang kuat, isu lingkungan akan selalu menghantui umat manusia dan bagaimana  respons manusia sebagai representasi mahluk yang mencetuskan etika “Antroposentris” yang  mana ironinya berbalik menghujami kehidupannya sendiri. Maka, penguatan pendidikan  lingkungan dapat menjadi wahana dalam menguatkan kembali local wisdom yang kian pudar,  tentang bagaimana manusia memilik akal dan nurani untuk bersikap. Jika bukan kita, siapa  lagi? Jika tidak sekarang, lalu kapan lagi? 


Penulis : A. Hafizh Fadlan Izan 

Editor : Hana Salsa Julia Putri