(Sampul buku Pendidikan Kaum Tertindas, sumber: Gramedia.com)

Judul: Pendidikan Kaum Tertindas

Penulis: Paulo Freire

Penerbit: LP3ES

Pencetak: PT. Temprint, Jakarta

Tahun Terbit: 1985"

Halaman: 220

 

          www.sinergispress.com - Sistem pendidikan yang dibangun Paulo Freire berangkat dari penderitaan, di mana keadaan karut marut oleh krisis ekonomi (Great Depression) pada tahun 1930-an merupakan corak yang melatarbelakanginya. Freire yakin bahwa pendidikan bisa membawa kaum tertindas pada kehidupan yang layak. Secara eksplisit, Freire mengkritisi konsep pendidikan gaya bank, dalam hal ini ia menganalogikan suatu kegiatan ajar-mengajar sama dengan tabung-menabung, dimana guru sebagai subjek aktif (mengisi) dan murid sebagai objek yang pasif, artinya interaksi antar keduanya menjadi satu arah, hal ini menurutnya tidak akan sampai pada suatu penyadaran sosial. Kendati demikian, Freire membangun model pendidikan yang erat kaitanya dengan keadaan kaum tertindas sebagai bekal prakarsa ke arah emansipasi, tuk menjadi manusia seutuhnya.

 

          Dalam konsepsi pendidikan gaya bank, pengetahuan yang diberikan oleh guru hanya sekedar diterima sebagai diktat belaka. Terlebih dengan apa yang ditekankan oleh Freire dalam pendidikan semacam ini memiliki bias yang dikerangkai dengan paradigma yang tidak dapat diubah. Maka dari itu, seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa model pendidikan yang dibangun Freire mendorong untuk kiat menciptakan ruang kegiatan belajar di instansi pendidikan ataupun di luar yang memiliki siklus ke arah emansipasi, menjadikan model pendidikan ini agar membentuk suatu budaya sosial yang disebut juga sebagai praktik pembebasan yang bertujuan untuk mencapai pemenuhan hak-hak dasar manusia.

 

          Relevansinya kita tahu bahwa akan sulit untuk menerapkan model pendidikan yang menjunjung tinggi emansipasi ini ke dalam institusi pendidikan yang memiliki pola linear ke arah pekerjaan, artinya apa yang disebut sebagai profesi tidak semenyenangkan ketika masa kanak-kanak saat ditanya, “apa cita-cita kamu nanti besar nak?” Meskipun pola pendidikan kita masih berupa gaya bank, tetap saja kita tidak bisa secara leluasa menyalahkan penanggung jawab akademisi (pengajar), mengetahui bahwa mereka pun kaum tertindas yang ruwet akan profesinya yang lebih memikirkan kebutuhan dasar kehidupan sehari-hari.

 

          Demikian, apa yang menjadi arus utama yang dituangkan dalam buku ini mengenai usaha penyadaran untuk menjadi manusia seutuhnya, persis dengan falsafah pendidikan bangsa yang disebut oleh Ki Hajar Dewantara. “Ing ngarsa sung tulada, Ing madya mangun karsa, Tut wuri handayani (Di depan, seorang pendidik harus memberi teladan yang baik, di tengah atau di antara murid-- guru harus menciptakan prakarsa atau ide, dari belakang seorang guru harus memberikan dorongan atau arahan).” Namun, sekali lagi bahwa bukan berarti seorang guru dalam arti sebagai profesi yang harus mengemban peran falsafah ini. Akan tetapi, lebih daripada itu bahwa pertama-tama ialah kita yang berangkat secara mandiri dalam usahanya mencapai buah dari falsafah pendidikan bangsa ini, apa ditekankan juga oleh Ki Hajar Dewantara mengenai konsep pendidikan “olah pikir, olah rasa, olah karsa, dan olahraga”, suatu model pendidikan yang menjadikan manusia yang seutuhnya.

 

 

 

Penulis: Dea Cahaya Ramdona

Editor: Lulu Fitriani Fadillah