Gambar:
Jan van der Straet
www.sinergispress.com - Dewasa
ini satwa liar terutama hewan eksotis menjadi primadona sebagai peliharaan hingga merambah pada kalangan selebriti
sehingga menjadi topik pembicaraan yang hangat. Hewan eksotis dijadikan sebagai
kepemilikan atas dasar keunikan dan karakteristik yang dimilikinya, sehingga
tidak jarang mengundang perhatian dari segala pihak. Kepemilikan hewan eksotis
tentunya memiliki perizinan yang rumit dengan segala standar konservasi yang
ditentukan, pasalnya hewan eksotis yang acap kali dipelihara adalah satwa liar
yang dilindungi karerna terancam punah hingga adanya ancaman perdagangan liar.
Terdapat
larangan memelihara satwa liar yang dilindungi, sebagaimana pada Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya
menyebutkan adanya larangan memelihara satwa atau hewan liar dilindungi pada
Pasal 21 ayat 2. Dimana setiap orang dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh,
menyimpan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi
dalam keadaan hidup.
Tidak
jarang hewan eksotis yang menjadi peliharaan berstatus Critically Endangered
(kritis) pada Red List IUCN (International Union for the Conservation of
Nature and Natural) atau berstatus Appendix 1 pada CITES Appendices dalam
ancaman perdagangan internasional. Seperti yang terjadi di Indonesia, hewan
eksotis tersebut beragam seperti Harimau, Owa Jawa, dan satwa eksotis lainnya.
Sebetulnya, memiliki hewan peliharaan eksotis yang dilindungi bukan merupakan
tindakan melanggar hukum jika atas dasar konservasi dengan beserta izinnya,
hanya saja memelihara hewan eksotis atau satwa liar bukanlah hal tepat serta
merupakan tindakan yang tidak disarankan.
Alasannya
cukup kuat, yakni mereka bukanlah hewan peliharaan, satwa liar juga memiliki
peranan cukup krusial dalam keberlangsungan ekosistem hutan. Jika diambil
contoh, hewan eksotis yang menjadi peliharaan merupakan apex predator
(predator puncak) dalam siklus predasi dan mengatur jumlah populasi herbivor di
alam liar sehingga keberadannya seimbang. Contoh lainnya, Owa Jawa Albino yang
sangat dicari untuk dipelihara oleh kalangan orang berada merupakan penebar
biji di hutan, keberadannya cukup penting untuk kelestarian ekosistem.
Walau
begitu, terdapat hewan eksotis yang tidak dilindungi negara serta dijadikan
peliharaan oleh beberapa orang. Hal tersebut tidak juga menjadi pembenaran, karena
tidak jarang satwa yang tidak dilindungi negara merupakan satwa yang masuk
dalam Red List IUCN utamanya yang berstatus Vulnerable (rentan), Endangered
(terancam punah), Critically Endangered (kritis). Karena itulah
bentuk tanggung jawab Indonesia sebagai salah satu negara anggota IUCN, dengan demikian
masyarakat Indonesia diharapkan tidak mendomestikasikan satwa liar ataupun
hewan eksotis yang masuk dalam Red List IUCN pada beberapa kategori tersebut.
Sebut
saja Harimau Benggala (Panthera tigris tigris), subspecies harimau dari
India ini contoh satwa yang menjadi peliharaan, meskipun memiliki status
terancam punah (endangered) menurut IUCN dan termasuk Appendix 1 CITES,
namun status perlindungan satwa ini di Indonesia tidak dilindungi. Bagaimana
statusnya, terancam punah atau tidak, dilindungi atau tidak, tempat mereka
mestinya di alam dan bukan untuk dipelihara, bukan untuk diperjualbelikan, atau
lain sebagainya.
Tentu
jika kepemilikan hewan eksotis kian marak, ancaman perburuan untuk
diperdagangkan dipastikan akan meningkat, lalu siapa yang dapat menjamin jumlahnya
tidak akan menurun? Tidak berhenti di situ saja, hewan eksotis yang notabene-nya
satwa liar tidak baik untuk didomestikan, karena yang liar biarlah tetap liar,
alam memiliki mekanismenya sendiri untuk tetap berlangsung.
Dalih
surat izin konservasi hingga ketetapan standar yang mendukung dalam
perawatannya tidak merubah fakta bahwa mendomestikan satwa liar adalah tindakan
yang tidak disarankan. Dalam kehidupannya, kaki hewan eksotis tersebut
berorintasi dengan lantai yang cemerlang, bukan lantai hutan yang penuh
kesuburan. Hewan eksotis tersebut diberikan makanan penuh kemewahan, bukan
makanan yang mereka butuhkan. Hewan eksotis tersebut bercengkrama dengan
puluhan manusia layaknya pejabat, bukannya membentuk suatu koloni yang erat. Tidak
jarang karena kelalaian tersebut menyebabkan hewan eksotis yang menjadi
peliharaan mati, dan hal itu terus terjadi berulang.
Walaupun
dipelihara dengan baik dengan segala perawatan yang mahal, hewan eksotis
seharusnya tidak berada di rumah dan tempatnya adalah alam liar. Mendomestikasikan
satwa liar bukanlah tindakan yang tepat entah untuk satwa liar, manusia, ataupun
untuk pembiasaan. Pengaruhnya dapat dirasakan apabila menjadi trend,
semakin marak semakin ramai hingga meningkatkan potensi perdagangan satwa liar.
Sebaik apapun memberikan perawatan, sebagus apapun fasilitas yang diberikan,
sebesar apapun cinta yang disampaikan, namun alam seringkali menang melawan
pengalaman.
Penulis: A. Hafizh Fadlan
Izan
Editor: Lulu Fitriani Fadillah
0 Komentar