(Sumber: themighty.com)
www.sinergispress.com – Menghadapi kasus
kekerasan seksual memerlukan pemahaman mendalam tentang dinamika yang mengakibatkan pada insiden yang
mengenaskan ini. Salah satu aspek kritis yang harus diakui adalah ketimpangan
relasi kuasa antara korban dan pelaku.
Relasi kuasa mengacu pada hubungan antara individu atau kelompok yang didasarkan pada pemilikan atau kontrol atas sumber daya, kekuatan, atau otoritas. Dalam konteks kekerasan seksual, relasi kuasa mencerminkan ketidakseimbangan kekuasaan antara korban dan pelaku. Pada umumnya, pelaku memiliki kekuasaan yang lebih tinggi atau lebih dominan daripada korban dalam aspek tertentu, seperti status sosial, usia, posisi pekerjaan, atau hubungan personal.
Bentuk dari kekerasan seksual sendiri tidak hanya dalam bentuk fisik seperti sentuhan, bahkan mencibir dan merendahkan secara seksual seseorang juga dapat dikategorikan sebagai kekerasan seksual. Bukan hanya itu, mengintimidasi seseorang atas pakaian yang dikenakannya juga menjadi salah satu kategori pelecehan seksual.
Kekerasan seksual dapat terjadi dimana saja, termasuk di lingkungan kampus. Dikutip dari voaindonesia.com, perguruan tinggi menempati urutan pertama untuk kekerasan seksual di lingkungan pendidikan dengan 35 kasus pada tahun 2015 sampai 2021. Kembali kepada ketimpangan relasi kuasa yang telah dibahas sebelumnya, kampus menjadi tempat dimana besar kemungkinan pelaku menyalahgunakan kekuasaannya dalam melakukan kekerasan seksual.
Ketimpangan kuasa yang terjadi di kampus dapat digambarkan dengan ragunya mahasiswa dalam melaporkan kekerasan seksual yang dilakukan oleh dosen. Lantaran dosen mempunyai privilege yang dipandang sebagai orang yang terpelajar dan merupakan contoh dalam hal berperilaku, menjadikan warga kampus lebih percaya dengan apa yang diutarakan dosen sedangkan mahasiswa mungkin akan dituduh menggoda atau melakukan hal-hal tak senonoh lainnya yang dapat mengundang terjadinya kekerasan seksual.
Relasi dosen dengan para pejabat kampus juga memperbesar kemungkinan kekerasan seksual yang dilakukannya tidak ditangani dengan baik bahkan berbalik mengancam mahasiswa itu sendiri.
Kekerasan seksual juga dapat terjadi antar mahasiswa, biasanya mahasiswa yang mempunyai jabatan dalam organisasi besar kemungkinannya melakukan kekerasan seksual. Lagi-lagi perihal ketimpangan kuasa dan citra baik yang dimiliki olehnya membuatnya bebas dalam melakukan intimidasi guna mendapatkan kepuasan seksual dari korban yang dianggap lebih lemah darinya.
Faktor lain yang dapat mendukung kekerasan seksual terjadi di lingkungan kampus adalah kebiasaan mewajarkan candaan yang berbau seksis sampai dengan mahasiswa yang kurang memahami apa itu kekerasan seksual, bahkan mungkin kurang peduli. Stereotype gender yang memandang perempuan menjadi sebagai objek seksualitas juga menjadikan perempuan rentan mengalami kekerasan seksual.
Berangkat dari kekhawatiran tersebut, terbitlah Permendikbud no. 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi yang berprespektif kepada korban. Karena adanya relasi kuasa maka penanganan kekerasan seksual haruslah berprespektif korban. Pendekatan yang berpusat pada korban memastikan bahwa setiap langkah proses penanganan, mulai dari melaporkan kejadian hingga mencari keadilan, disesuaikan untuk memberikan lingkungan yang aman dan dukungan bagi korban. Pendekatan ini berfokus pada memberdayakan korban untuk mengambil kendali atas hidup mereka dan proses penyembuhan.
Rasa kasih sayang,
empati, dan kepekaan adalah elemen penting dari perspektif yang berpusat pada
korban. Dengan mengakui emosi dan pengalaman korban, kita dapat menciptakan
lingkungan di mana mereka merasa didengar dan dipahami. Hal ini, pada
gilirannya, mendorong korban untuk melangkah maju dan mencari bantuan tanpa
rasa takut akan penilaian atau pembebanan kesalahan pada korban.
Kita perlu merdeka dari kekerasan seksual dan terhindar dari dampak mengerikan yang diakibatkan oleh kekerasan seksual. Dikutip dari halodoc.com, dampak psikis yang dialami oleh korban kekerasan seksual dari selalu merasa tidak aman, ketakutan, rasa malu yang besar, menyalahkan diri sendiri bahkan sampai depresi yang berujung dengan self-harm.
Dampaknya tidak berhenti pada korban, melainkan keluarga korban juga mendapatkan kerugian akibat adanya pandangan negatif yang menimpa anggota keluarganya. Masyarakat mungkin akan enggan bergaul dengan keluarga korban. Fenomena enggan untuk bergaul dengan keluarga korban seharusnya terjadi pada keluarga pelaku, yang mana pelaku dan keluarganya lah yang perlu menanggung malu akibat dari perbuatan tidak pantas itu.
Dilihat dari dampaknya, wajar bila seorang korban kekerasan seksual takut untuk bersaksi dan melaporkan kekerasan seksual yang terjadi padanya. Dari mulai merasa ketakutan bahwa ia akan mengalami hal serupa di kemudian hari sampai dengan ia merasa malu dan menyalahkan diri sendiri akan apa yang telah terjadi padanya. Hal tersebut seharusnya menjadi PR bagi masyarakat kampus, yaitu dengan memberikan ruang aman bagi para penyintas untuk melaporkan dan ikut mendampingi dalam proses penyembuhan trauma akibat kekerasan seksual.
Dengan terbitnya Permendikbud no.30 tahun 2021, menjadi payung hukum yang bagi mahasiswa dan civitas akademik untuk menjalani aktivitas di kampus dengan aman dan nyaman, serta terhindar dari ancaman kekerasan seksual. Pendidikan seksual juga sudah seharusnya menjadi pengetahuan dasar bagi semua lapisan masyarakat, khususnya mahasiswa agar upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus dapat terlaksana dengan baik.
Jadi pembentukan Satuan Tugas PPKS yang menangani kasus kekerasan seksual yang berperspektif kepada korban dan kerjasama antar mahasiswa untuk menciptakan ruang aman untuk para korban kekerasan seksual sangat penting dalam upaya kita untuk merdeka dari kekerasan seksual di kampus.
Penulis: Alya Wijayani
Editor: Lulu Fitriani Fadillah
0 Komentar