Gubernur Jawa Barat yang akrab disapa Kang Dedi Mulyadi (KDM) membuat kebijakan yang memicu perdebatan publik terkait mengirim siswa yang dinilai “Nakal” ke barak militer, dalam arti sudah tak bisa lagi diarahkan, baik itu oleh pihak sekolah ataupun orangtua.
Di tengah-tengah peperangan asumsi dan opini publik, saya menyoroti kebijakan mengirim siswa ke barak militer ini berangkat dari ketidakpuasan KDM, bahkan masyarakat terhadap sistem pendidikan di Indonesia.
Adanya kebijakan itu, seperti menjadi pukulan telak terhadap kegagalan pendidikan kita yang seharusnya mengurusi hal paling dasar seperti sikap disiplin, hormat kepada orang tua, dan sikap-sikap sosial penting lainnya. Mengacu teori Taksonomi Bloom dari Benjamin Samuel Bloom, pendidikan terdiri dari tiga ranah utama: kognitif, afektif, dan psikomotorik. Ranah kognitif berfokus pada pengetahuan, afektif pada sikap dan perilaku, serta psikomotorik pada keterampilan fisik. Pertanyaannya, ranah mana yang menjadi prioritas sistem pendidikan kita? Realitas menunjukkan bahwa banyak pelajar masih kekurangan pemahaman dasar, memiliki sikap yang kurang terpuji, atau tak memiliki keterampilan yang menonjol. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan kita belum berhasil mencakup ketiga ranah tersebut secara seimbang.
Menjadikan barak militer sebagai tempat pengembangan karakter merupakan bukti gagalnya pemangku pendidikan untuk mendidik siswa memiliki hal-hal yang substansial dalam berkehidupan sosial, dalam kata lain, program ini melemparkan tanggung jawab kepada yang bukan seharusnya (TNI).
Dalam wawancara KDM dengan awak-awak media, ia menyebut: Isu anak anak nakal dibawa ke barak TNI memberi efek kejut kepada anak anak yang biasa nakal yang belum terjaring. Coba lihat tempat nongkrong (bolos) sekarang sepi, anak-anak yang biasa bolos sekolah sudah tidak ada. Di Indonesia ini. Satu, orang Indonesia itu belum ada kesadaran takut, nah sekarang tuh sudah ada rasa takut, akhirnya yang bolos gak jadi.
Jika kita perhatikan penuturan KDM, ada satu kata yang menarik untuk dibahas yakni kata “takut”, pertanyaannya apakah rasa takut diperlukan dalam dunia pendidikan. Seberapa jauh seorang pendidik menanamkan rasa takut kepada siswa? Memang dalam perspektif psikologi pendidikan modern rasa takut tak diperlukan karena cenderung berdampak negatif, tetapi jika memang diperlukan tak ada salahnya mengandalkan rasa takut untuk menanamkan sikap disiplin dengan mengelaborasi pengkondisian yang ditawarkan B.F. Skinner maupun Ivan Pavlov dalam teori behaviorisme klasiknya.
Sistem pendidikan kita harus mandiri dan sesuai dengan kebutuhan yang ada. Lantas dari mana idealnya kita memulai? Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya dan adat istiadat, maka pendidikan karakter seharusnya yang paling diutamakan, realitanya pendidikan kita selama ini hanya terfokus pada kemampuan kognitif, padahal fondasi utamanya adalah sikap. Melihat kuatnya budaya dan nilai-nilai sosial yang ada di masyarakat, kenapa kita harus mengadopsi arus luar. Dengan melakukan penyesuaian dan penerapan, maka nilai-nilai yang ada akan relevan digunakan untuk pembentukan karakter. Meminjam perkataan Thomas Lickona (1991) bahwa pendidikan karakter adalah upaya sadar untuk membantu seseorang memahami, merasakan, dan melakukan nilai-nilai etika yang baik.
Pengembangan karakter siswa di barak militer merupakan bentuk ketidakpercayaan masyarakat, termasuk KDM terhadap sistem pendidikan kita yang kurang memerhatikan ranah afektif (sikap), sehingga mengurangi kepekaan yang penting dalam lingkup sosial. Pada akhirnya pola didik militer yang dinilai memiliki hasil disiplin tinggi menjadi bentuk peralihan di tengah kekecewan terhadap sistem pendidikan yang sudah mengakar dan sulit diperbaiki.
Bagaimana pun juga, harus diakui kualitas sumber daya manusia kita tertinggal jauh. Maka pendidikan memiliki peran penting untuk meningkatkan sumber daya yang baik. Prosesnya memerlukan banyak waktu untuk mencapai tujuan mulia pendidikan–sebagaimana yang disebutkan oleh Bapak Pendidikan Indonesia, KI Hajar Dewantoro “Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan budi pekerti (karakter), pikiran (intelek), dan jasmani anak-anak agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, selaras dengan alam dan masyarakat.”
Demikian, saya berharap kebijakan KDM menjadi bahan evaluasi untuk pemangku kepentingan di bidang pendidikan dalam memenuhi apa yang dibutuhkan oleh anak-anak Indonesia.
Penulis: Sidiq Nugraha
Editor: Dea Cahaya Ramdona
0 Komentar