Sampul buku Madilog terbitan Teplok.

Sepengetahuan saya, tidak ada buku klasik yang sepopuler Madilog (Materialisme, Dialektia, Logika) karya Tan Malaka, hanya roman Tetralogi Pulau Buru yang ditulis Pramoedya Ananta Toer yang dapat menyainginya. Bahkan, Tetralogi Pulau Buru tidak se-klasik Madilog, tetralogi tersebut ditulis pada tahun 1980, sedangkan Madilog ditulis berpuluh-puluh tahun sebelumnya, tahun 1942.

Buku tersebut bertahan selama lebih dari setengah abad, sampai sekarang masih banyak yang membacanya (atau setidaknya pernah mendengarnya). Tentu, yang dimaksud banyak di sini relatif sifatnya, jika dibandingkan pastinya lebih banyak yang membaca buku-buku yang ditulis Fiersa Besari, Tere Liye, Boy Chandra, atau Pidi Baiq. Tetapi dalam kategori buku yang tergolong klasik, apalagi kalau buku tersebut membahas filsafat, Madilog termasuk banyak pembacanya.

Ada beberapa teman saya yang mencoba membaca Madilog, namun seringkali mereka gagal memahaminya. Hal tersebut dapat diwajari karena bahasa yang ditulis Tan Malaka walaupun masih bahasa Indonesia tetapi berbeda dengan bahasa Indonesia yang kita gunakan sehari-hari, tata bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia klasik. Ditambah, Tan Malaka menulis buku tersebut setelah ia kembali dari pelarian di luar negeri, jadi Tan Malaka tidak sempat mengikuti perkembangan bahasa Indonesia saat itu. Artinya, pada saat Madilog ditulis pun, bahasanya tergolong klasik. Seperti yang diakuinya dalam pendahuluan buku tersebut:

Saya percaya ada otak di Indonesia sekarang yang lebih terlatih dari saya dan pena yang lebih tajam dari pena yang berkarat, karena tiada dipakai lebih dari 10 tahun belakangan ini. Akhirnya ada ahli bahasa Indonesia yang bisa lebih tangkas merebut jiwa dan semangat Indonesia dari bahasa saya yang terpendam di luar negeri dalam lebih dari setengah umur saya.

Jadi, ada dua tingkat kesulitan: pertama, memahami bahasa yang digunakan, kedua, memahami apa yang dibahasnya, termasuk di dalamnya pembahasan mengenai filsafat. Buku yang membahas filsafat yang ditulis menggunakan bahasa Indonesia modern pun termasuk sulit dibaca pembaca umum, apalagi yang ditulis menggunakan bahasa Indonesia klasik.

Tulisan ini adalah resume dari buku Madilog, dimaksudkan untuk membantu teman-teman semua memahami Madilog. Tentu, karena bentuknya resume (ringkasan), tulisan ini tidak akan bisa menggantikan pengalaman membaca Madilog secara keseluruhan. Saya juga berusaha membuat tulisan ini sejelas dan seringkas mungkin, agar teman-teman yang memang tidak membaca Madilog sampai selesai atau bahkan yang belum pernah membacanya sama sekali dapat mengikutinya.

Apa Itu Madilog?

Sebagai seorang pejuang kemerdekaan, apa yang melatarbelakangi Tan Malaka menulis buku di tengah-tengah situasi represi tentara Jepang?

Pena merayap di atas kertas dekat Cililitan, di bawah sayapnya pesawat Jepang yang setiap hari mendengungkan kecerobohannya di atas pondok saya.

Menurut saya jawabannya sederhana, agar rakyat Indonesia dapat membebaskan diri dari belenggu penjajahan, agar rakyat dapat mendapatkan kemerdekaan sesungguhnya, agar rakyat tidak dibodohi lagi, maka rakyat mesti dibekali dulu dengan kemampuan cara berpikir yang ilmiah. Tan Malaka menyadari bahwa dengan memberikan buku-buku dari Barat yang berkaitan dengan cara berpikir ilmiah, tidak akan membuat rakyat Indonesia mengerti karena perbedaan budaya di antara keduanya. Maka, Tan Malaka menulis buku yang dapat menjembatani rakyat Indonesia dengan buku-buku dari barat, sebagai buku pengantar untuk memahami lebih dalam filsafat dan sains dari Barat, karena itulah Tan Malaka menulis Madilog.

Walaupun akhirnya menjadi buku yang sulit dibaca, tetapi Tan Malaka tidak pernah bermaksud menjadikannya sulit, justru dia ingin membantu rakyat Indonesia untuk memahami filsafat dan sains Barat, terutama berkaitan dengan cara berpikirnya.

Saya rasa, Madilog masih relevan bahkan untuk dibaca saat ini. Tujuan Tan Malaka agar rakyat Indonesia dapat berpikir secara ilmiah masih belum terwujud. Kita bisa bertanya pada diri kita sendiri, seberapa banyak dari kita yang masih percaya pada astrologi (ramalan bintang)? Seberapa banyak dari kita yang masih percaya pada dukun?

Apalagi di era informasi saat ini, di mana informasi mengalir begitu derasnya, maka termasuk juga berita hoaks di dalamnya, cara berpikir ilmiah begitu penting. Menurut saya cara menangkal hoaks bukan dengan memblokir akun-akun penyebar hoaks, karena akan muncul akun-akun penyebar hoaks lainnya. Satu-satunya cara menangkal hoaks adalah dengan cara berpikir ilmiah, jika semua dapat berpikir secara ilmiah, akun-akun penyebar hoaks seberapa banyak pun jumlahnya tidak akan berarti lagi. Ini tentu, berkaitan dengan sistem pendidikan kita, sistem pendidikan yang berbasis pada hafalan tidak akan membuat orang dapat berpikir secara ilmiah.

Pada masa kecil memang saya juga mengapal, tetapi bukan dalam bahasa ibu, melainkan dalam bahasa Arab dan Belanda. Tetapi ketika sudah sedikit berakal, saya sesali dan saya bantah kebisaan saya itu. Pada ketika itu saya sadar, bahwa kebiasaan mengapal itu tiada menambah kecerdasan, malah menjadikan saya bodoh, mekanis, seperti mesin.

Madilog adalah akronim dari Materialisme Dialektika Logika. Orang yang pernah mencoba belajar filsafat pasti tahu, dua kata awal, materialisme dialektis adalah aliran filsafat yang pertama kali dicetuskan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels. Seperti yang dikatakan sebelumnya, Tan Malaka ingin memperkenalkan filsafat dan sains barat. Dia juga ingin memperkenalkan logika sebagai hukum berpikir yang digunakan oleh sains modern. Singkatnya, dalam Madilog ia ingin memperkenalkan materialisme, dialektika, dan logika, serta hubungannya satu sama lain.

Di sinilah dikerangkakan arti dan daerahnya materialisme, arti dan daerahnya dialektika, serta arti dan daerahnya logika. selain dari pada itu, akan dijelaskan pula seluk-beluk dan kena-mengenanya materialisme, dialektika dan logika, satu sama lainnya.



Materialisme

Dalam filsafat terdapat dua aliran besar, yang mana setiap ajaran filsafat dapat digolongkan ke dalam dua aliran tersebut, yaitu idealisme dan materialisme.

Di sini, kita harus menyingkirkan pengertian kita sehari-hari mengenai kedua istilah tersebut. Dalam istilah sehari-hari, orang yang menganut idealisme diartikan sebagai orang yang mempunyai gagasan dan cita-cita luhur. Sedangkan orang yang menganut materialisme, seorang materialis, adalah orang yang mata duitan, melakukan sesuatu karena materi (uang).

Dalam pengertian filsafat, pengertiannya tidak seperti itu. Apa yang membedakan idealisme dengan materialisme adalah jawaban atas pertanyaan: makanah yang lebih dulu ada? Pikiran (idea) atau benda (materi)?

Yang menjawab bahwa idea ada terlebih dahulu, maka ia termasuk ke dalam idealis. Yang menjawab bahwa materi ada terlebih dahulu, maka ia termasuk ke dalam materialis.

Apa maksudnya? Apa yang dimaksud dengan idea atau materi terlebih dahulu? Tan Malaka di dalam bab pertama Madilog, berjudul Logika Mistika, sebetulnya sudah memberi contoh dengan sangat jelas mengenai idealisme dan materialisme, walaupun pembahasan mengenai filsafat baru di bab sesudahnya.

Dia memberi contoh mengenai jawaban atas pertanyaan mengenai asal mula kehidupan ini. Dalam kepercayaan bangsa Mesir Kuno, kehidupan bermula dari Dewa Rah, dan diciptakan olehnya.

Demikianlah Firmannya Maha Dewa Rah:
Ptah: maka timbullah bumi dan langit.
Ptah: maka timbullah bintang dan udara.
Ptah: maka timbullah sungai Nil dan daratan.
Ptah: maka timbullah tanah-subur dan gurun.

Dengan firman berbunyi "Ptah", Dewa Rah menciptakan seluruh kehidupan dari mulai planet bumi termasuk makhluk hidup di dalamnya, sampai dengan bintang-bintang di ruang angkasa. Ini terjadi dalam sekejap, setelah "Ptah" diucapkan, seluruh kehidupan seperti sekarang tiba-tiba ada.

Jadi, menurut kepercayaan bangsa Mesir Kuno, benda-benda (materi) diciptakan oleh suatu entitas non-materi, diciptakan oleh suatu idea. Dalam kepercayaan Mesir Kuno, idea ini mengambil bentuknya dalam Dewa Rah. Pandangan seperti ini, di mana idea ada terlebih dahulu sebelum materi (Dewa Rah ada terlebih dahulu sebelum bumi, bintang, dan makhluk hidup), adalah pandangan idealisme.

Pandangan materialisme sebaliknya, benda-benda (materi) di dunia ini, bahkan dunia itu sendiri, tidaklah diciptakan oleh entitas non-materi, oleh suatu idea tertentu. Malah justru, idea itulah, entitas non-materi itulah yang diciptakan oleh materi.

Bukan Dewa Rah yang menciptakan masyarakat manusia, tetapi justru masyarakat manusia itulah yang menciptakan Dewa Rah. Karena perkembangan sains yang belum memadai saat itu, sedangkan manusia ingin menemukan jawaban mengenai asal-usul kehidupan, maka dipercayailah Dewa Rah sebagai pencipta kehidupan. Ketika, masyarakat Mesir Kuno hilang, hilanglah pula Dewa Rah. Siapa sekarang yang masih mempercayai Dewa Rah? Tidak ada, karena masyarkat yang mempercayainya (bangsa Mesir Kuno) sudah tidak ada lagi.

Jadi, dalam pandangan materialisme, masyarakat Mesir Kuno ada terlebih dahulu sebelum Dewa Rah. Juga, Dewa Rah ini tidak bisa dipisahkan dari adanya masyarakat Mesir Kuno. Dewa Rah ada, karena ada yang mempercayainya (ada dalam pikiran), ketika tidak ada lagi yang mempercayainya, hilang juga Dewa Rah. Selain berpandangan bahwa materi ada terlebih dahulu dibandingkan dengan idea, materialisme juga menyatakan bahwa keduanya tidak bisa dipisahkan.

Posisi mana yang harus kita pilih? Idealisme atau materialisme? Jika ingin berpikir secara ilmiah, maka kita harus memilih materialisme, itulah yang dipegang oleh ilmu sains modern.

Tetapi ilmu pasti, seperti ilmu bintang, ilmu alam, ilmu pisah (kimia), ilmu matematika dll. yang semuanya sekarang diajarkan di sekolah di lima benua yang kita kenal ini, ialah berdasarkan filsafat yang sebaliknya. Di sini rohani berupa kodrat, kracht, force, tiadalah dianggap barang yang terpisah, barang yang berdiri sendirinya, barang yang bisa melahirkan zat, dalam waktu yang lebih cepat dari sekejap mata. Di sini force, kodrat itu, terkandung oleh matter, oleh benda. Di mana ada benda di sana baru ada Kodrat.

Pikiran (idea) adalah cerminan dari benda-benda nyata (materi). Sekali lagi, materi ada terlebih dahulu, baru ide mengenainya. Masyarakat Mesir Kuno mesti ada terlebih dahulu, baru ada Dewa Rah. Materi dan idea tidak bisa dipisahkan, jika ada idea, maka ada materi yang melandasinya. Seperti, pikiran (idea) kita tentang kecantikan, bahwa kulit putih dan badan langsing itu cantik, tidaklah ada begitu saja, tetapi dilandasi oleh konstruksi sosial masyarakat (materi) yang berlaku di lingkungan kita.

Logika dalam Sains Modern

Tan Malaka menjelaskan asal-usul kehidupan menurut sains modern pada zamannya. Bahwa semua materi di alam ini berasal dari materi juga, hanya saja berbeda bentuk, materi-asal berbeda bentuk dari materi-hasil.

Ketika semua benda di alam ini: bumi, matahari, bintang, tumbuhan, hewan dan manusia–mestinya menurut Undang Ketetapan Jumlahnya Benda, datangnya dari benda juga. Cuma rupanya benda-asal itu berlainan dari benda-jadi ini. Bagaimana satu bentuk benda menjelma menjadi bentuk yang lain, berlaku menurut Undang Perpaduan seperti sudah ditetapkan oleh Dalton. Tegasnya benda-asal mesti ada lebih dahulu, baru benda yang ada di dunia sekarang bisa pula ada.

Bumi ini terbentuk karena sebelumnya sudah ada komponen yang dapat menyusunnya, semuanya berpadu menurut hukum fisika dan kimia, tidak datang dari ketiadaan atau entitas non-materi, tetapi datang dari materi juga, hanya saja berbeda bentuk. Begitu juga manusia, tidak tiba-tiba ada dan langsung menjadi manusia, melainkan hasil dari evolusi selama berjuta tahun dari sejenis kera.

Oleh karena berlainan keadaan hidup, umpamanya berlainan iklim, maka biji asal tadi menjelma menjadi ikan. Lama kelamaan ikan menjelma menjadi amphibi (hewan yang hidup di air dan daratan, seperti kodok dll). Amphibi lama kelamaan menjadi reptil (bintang menjalar seperti ular). Reptil lambat laun menjelma menjadi binatang yang menyusukan anaknya, seperti lembu dan monyet. Monyet inilah yang menderita penjelmaan dalam jutaan tahun sampai timbul hewan berupa manusia.

Dalam hal inilah saya kira pertentangan paling keras akan muncul: "Tidak mungkin manusia berasal dari sejenis kera, kita manusia adalah makhluk mulia, makhluk sempurna, berbeda dari binatang manapun juga!" Terhadap pertentangan itu, saya hanya bisa menyarankan untuk cobalah berpikir secara terbuka, teori evolusi adalah suatu fakta ilmiah, jika penasaran saya sarankan untuk membaca buku Sapiens karya Yuval Noah Harari. Saya rasa, karena hal ini pula Tan Malaka menulis dalam Kata Pengantar, bahwa Madilog memperkenalkan dirinya kepada mereka yang berhati lapang.

Madilog sekarang memperkenalkan dirinya kepada mereka yang sudi menerimanya. Mereka yang sudah mendapat minimum latihan otak, berhati lapang dan seksama serta akhirnya berkemauan keras buat memahamkannya.

Walaupun fakta-fakta sains yang dipaparkan Tan Malaka ada beberapa yang ketinggalan zaman, hal tersebut wajar karena sains saat Tan Malaka menulis Madilog belum berkembang seperti sekarang. Tetapi, saya tetap terkagum-kagum dengan bagaimana Tan Malaka dapat mengikuti perkembangan filsafat dan sains pada zamannya di tengah situasi hidup yang sulit. Dia sudah mengenal geometri non-Euclidean dan juga teori relativitas Einsten yang saat itu masih berupa hipotesis.

Terlepas dari fakta-fakta sains yang dipaparkannya, kita bisa mengambil hikmah mengenai cara berpikir yang ditawarkan sains modern, bahwa alam semesta ini senantiasa ada dalam perkembangan, tidak ada yang tetap. Bumi tidaklah ada sejak awal, melainkan terbentuk sekitar 4 milyar tahun yang lalu, manusia tidaklah ada sejak awal seperti sekarang, melainkan hasil dari evolusi sekitar 2 juta tahun lalu dari sejenis kera. Begitu juga dengan kapitalisme, ia bukanlah tatanan yang alamiah yang ada sejak awal, melainkan lahir dari feodalisme. Semuanya adalah hasil perubahan dari yang terdahulu. Begitu juga, kehidupan sekarang akan berubah, tidak akan tetap seperti ini. Kapitalisme akan berakhir, tidak ada yang abadi, yang abadi adalah perubahan itu sendiri.

Mengenai cara berpikir, Tan Malaka memberi contoh mengenai cara menyelesaikan persoalan dalam matematika, terdapat tiga cara: sintesis, analitis, dan reductio ad absurdm. Dalam tulisan ini saya hanya akan membahas mengenai reductio ad absurdm, yaitu cara menyelesaikan persoalan dengan mengajukan hipotesis hal yang berlawanan, sehingga akan menimbulkan konsekuensi yang berlawanan pula dan ini berarti hipotesis yang tidak berlawan adalah benar.

Tan Malaka, memberi contohnya dalam hal matematika, memang dalam matematika metode reduction ad absurdm seringkali digunakan, orang yang pertama membuktikan bahwa bilangan irasional itu ada, Hippasus, juga menggunakan metode ini. Tetapi, untuk meringankan beban pembaca (saya menyadari pembelajaran matematika di kita tidak cukup baik), saya tidak akan mengambil contoh matematika. Saya mengambil contoh dari apa yang baru saya alami.

Saya diundang rapat dengan pihak rektorat, di rapat itu pihak rektorat menyatakan bahwa Uniku selalu berusaha menjaga mutu pembelajaran. Inilah persoalan yang akan kita jadikan contoh, benarkah Uniku berusaha menjaga mutu pembelajaran?

Kita asumsikan bahwa benar Uniku berusaha menjaga mutu pembelajaran, konsekuensinya Uniku juga berusaha menjaga agar sarana pembelajaran cukup memadai digunakan oleh mahasiswa. Kebetulan saya mahasiswa FKom, mengenai sarana pembelajaran, tidak perlu lha kita bicara mengenai ketersediaan komputer untuk praktikum (sudah pasti kurang), karena bahkan hal sederhana seperti modul praktikum pun tidak dibuat dengan baik, isinya tidak jelas karena hasil fotokopi, juga dari tahun ke tahun isinya sama, padahal teknologi terus berkembang. Dalam hal ini, kita menemui pertentangan dengan asumsi yang kita buat sebelumnya (bahwa Uniku menjaga mutu pembelajaran), karena pada kenyataannya sarana pembelajaran tidak cukup baik, ini berarti asumsi kita sebelumnya tidak benar (absurd), yang benar adalah lawan dari asumsi tersebut yaitu bahwa Uniku tidak berusaha menjaga mutu pembelajaran.

Kita kembali lagi mengenai cara berpikir, Tan Malaka juga memberi contoh cara mengambil kesimpulan yang digunakan oleh sains modern, cara tersebut yaitu induksi, deduksi, dan verifikasi. Seperti contoh di atas, saya tidak akan memberi contoh semuanya, saya hanya akan memberi contoh dua saja, cara induksi dan deduksi. Semoga dengan cara seperti ini akan merangsang pembaca untuk membaca Madilog secara langsung.

Induksi adalah cara mengambil kesimpulan dari hal-hal khusus ke hal-hal umum. Sederhana saja, kita saksikan bahwa kakek atau nenek kita meninggal, kita juga mendapat kabar bahwa orang tua dari teman kita meninggal, atau bahkan teman kita sendiri ada yang sudah meninggal. Dari fakta ini, dari hal-hal khusus (kakek, nenek, orang tua teman kita, atau teman kita), kita lalu membuat generalisasi, membuat kesimpulan yang lebih umum, bahwa: semua manusia akan meninggal.

Cara deduksi sebaliknya, mengambil kesimpulan dari hal-hal umum ke hal-hal khusus. Tadi kita sudah mendapatkan suatu kesimpulan bahwa semua manusia akan meninggal, kesimpulan tersebut adalah hasil generalisasi, merupakan hal-hal umum. Lalu, kita melihat teman kita, Tono misalnya, masih sehat badannya, tetapi kita dapat menyimpulkan bahwa karena Tono juga manusia, maka dia akan meninggal. Dari hal-hal umum (kesimpulan bahwa semua manusia akan meninggal), kita menyimpulan hal-hal khusus, bahwa Tono, teman kita akan meninggal.

Dialektika

Cara mengambil kesimpulan di atas adalah cara berpikir berdasarkan logika. Logika memang erat hubungannya bahkan menjadi dasar dari sains modern, tanpa logika dan matematika, sains modern tidak akan berdiri seperti sekarang. Dalam cara induksi misalnya, bisa kita ubah ke dalam bentuk silogisme yang terkenal dan dikemukakan oleh Bapak Logika, Aristoteles.

Semua manusia akan meninggal.
Tono adalah manusia.
Maka, Tono akan meninggal.

Sekarang kita masuk ke dalam ranah yang lebih filosofis, dialektika. Dialektika pada dasarnya adalah logika tentang kontradiksi. Apa maksudnya? Cara berpikir dialektis pada dasarnya sering kita gunakan dalam percakapan sehari-hari, walaupun kita tidak menyadarinya. Pasti kalian pernah mendengar atau menyatakan perkataan seperti:

"Tanpa orang miskin, tidak akan ada orang kaya."
"Tanpa orang jelek, tidak akan ada orang cantik."

Suatu hal yang bertentangan justru saling mengandaikan satu sama lain. Benda seperti meja, justru didefinisikan oleh benda-selain-meja, karena tanpa benda-selain-meja, meja tidak memiliki identitas, karena identitasnya justru didefinisikan oleh perbedaannya dengan benda-selain-meja: dengan kursi, ranjang, kamera, laptop, dan lain-lain. Sama seperti contoh di atas, orang kaya justru didefinisikan dan diandaikan dari orang miskin.

Ini berarti A = non A. Dalam logika, pernyataan bahwa suatu hal sama dengan yang bukan dirinya, bahwa A = non A, adalah hal yang haram. Dalam logika A ya A, A = A. Namun, dalam logika yang berdasarkan kontradiksi, dalam dialektika, suatu hal adalah sekaligus yang bukan dirinya, A = non A.

Karena dalam suatu hal mengandung sekaligus hal yang bukan dirinya, maka tidak ada yang tetap di dunia ini, semuanya senantiasa ada dalam perubahan. Tan Malaka memberi contoh dua hukum dialektika, yang diambilnya dari Dialektika Alam karya Friedrich Engels. Hukum negasi dari negasi dan hukum perubahan dari kuantitas menuju kualitas.

Hukum negasi dari negasi, artinya suatu hal dilawankan dengan yang bukan dirinya (dinegasikan), dan yang bukan dirinya ini dinegasikan kembali menjadi hal tersebut tetapi dengan sifat yang lebih baik. Negasi dari negasi.

Saya akan memberi contoh, jika kita menanam biji mangga, biji mangga ini lama- kelamaan tidak akan menjadi biji lagi, ia akan menjadi pohon (berarti biji mangga dinegasikan), namun pohon tersebut juga akan menghasilkan banyak buah mangga dan tentu akan menghasilkan juga biji mangga (dinegasikan kembali menjadi biji), tetapi biji mangga yang sekarang berbeda dengan biji mangga sebelumnya, secara jumlah misalnya, ia lebih banyak.

Hukum perubahan dari kuantitas menjadi kualitas, artinya perubahan kecil-kecilan secara jumlah (kuantitas) lama kelamaan menjadi perubahan besar (kualitas).

Misalkan ketika kita memasak air, kita tahu bahwa air akan mendidih dan menghasilkan uap ketika suhunya berada pada 100 derajat celcius. Namun, jika kita perhatikan penambahan suhu secara kecil-kecilan tidak akan mengubah sifat air, air tetap air yang tenang, tidak mendidih dan menghasilkan uap. Kita masak air selama 5 menit, kita andaikan suhunya naik menjadi 40 derajat, air belum juga mendidih. Kita tunggu 5 menit lagi, air mencapai suhu 80 derajat, namun belum juga mendidih. Kita tunggu 1 menit lagi, suhu air sudah mencapai 90 derajat, namun ia masih tenang. Tetapi, ketika suhu air sudah mencapai 100 derajat, tiba-tiba air bergejolak dan menghasilkan uap. Kenaikan suhu dari 40 -> 80 -> 90 derajat, tidak mengubah sifat air, tetapi ketika pada suhu 100 derajat sifat air berubah. Perubahan kecil-kecilan menghasilkan perubahan besar, itulah salah satu contoh bekerjanya hukum perubahan dari kuantitas menuju kualitas.

Tan Malaka juga memberi peringatan kepada kita mengenai perbedaan antara materialisme dialektis dengan idealisme dialektis. Tadi, sudah dikatakan bahwa hukum dialektika menyatakan tidak ada yang tetap di dunia ini, semuanya berubah.

Idealisme dialektis, seperti yang dipegang oleh Hegel seorang filsuf Jerman, menyatakan bahwa perubahan tersebut disebabkan oleh absolute idea, oleh Roh, suatu entitas non-materi. Sedangkan materialisme dialektis, menyatakan justru perubahan itu memang sifatnya materi, konsep Hegel mengenai absolute idea atau Roh adalah pencerminan dari dunia itu sendiri, dari materi itu sendiri.

Bukan absolute idea yang menggerakkan perubahan dunia, melainkan perubahan dunia itu sendiri yang membuat Hegel dapat berpikir mengenai absolute idea. Ini seperti yang kita bahas mengenai Dewa Rah dan masyarakat Mesir Kuno di awal, bahwa bukan Dewa Rah yang menciptakan masyarakat manusia melainkan justru masyarakat manusia lah yang menciptakan Dewa Rah.

Penutup

Itulah yang berusaha disampaikan oleh Tan Malaka dalam Madilog, tentu banyak hal yang saya lewati, saya harap pembaca dapat membaca langsung bukunya. Madilog tersedia secara bebas di internet, Anda bisa membacanya secara daring. Bagian besar yang saya lewati salah satunya adalah pembahasan Tan Malaka secara lebih mendalam mengenai logika. Saya lewati karena saya pikir penjelasan mengenai logika secara garis besar sudah dijelaskan oleh Tan Malaka dalam bab mengenai cara berpikir sains modern.

Dari Tan Malaka kita belajar mengenai dan pentingnya cara berpikir ilmiah. Kenyataan bahwa pejuang kemerdekaan seperti Tan Malaka sampai meluangkan waktunya untuk menulis buku mengenai sains dan filsafat, seharusnya dapat menyadarkan kita bahwa dalam perjuangan, pemahaman teoritis itu penting. Perjuangan berarti ada hal yang ingin diubah, untuk dapat mengubah keadaan diperlukan pemahaman akan keadaan, pemahaman secara benar, secara ilmiah. Untuk itu bagi para aktivis, termasuk di dalamnya aktivis organisasi kemahasiswaan, atau siapapun yang mendambakan perubahan, sangat penting untuk melakukan kerja teoritis. Kerja teoritis di sini bukan hanya sekadar rapat diskusi, tetapi mengkaji berbagai teori pemikiran yang tidak mungkin dilakukan tanpa membaca buku. Jadi, kepada para mahasiswa umumnya dan aktivis ormawa khususnya, luangkanlah waktu untuk membaca buku. (tra/arf)


Penulis: Tri Asep Tumbara
Editor: Arfan Muhammad Nugraha